Ketika Afrika Lelah dengan ‘Bantuan’ (Eksploitasi) AS dan Beralih ke Cina

0
657

Beijing, LiputanIslam.com Akhir-akhir ini, Afrika menjadi topik penting dalam isu perkembangan ekonomi negara-negara berkembang. Pasalnya, Cina kini beralih menjadi kekuatan baru yang mendominasi bisnis di kawasan ini, mengalahkan dominasi yang sebelumnya dipegang AS.

Cina kini bermitra dengan negara-negara di seluruh benua Afrika, dari Mauritania sampai Afrika Selatan. Hubungan erat ini menjadi ancaman bagi hegemoni kapital, militer, dan NGO Barat. Negara-negara Afrika mulai melihat Cina sebagai pilihan mitra ekonomi yang lebih baik daripada AS, berkat pendekatan Beijing yang tanpa banyak syarat.

Seorang ahli geopolitik dalam hubungan Eropa-Asia, Jim Carey, menjelaskan secara detil hubungan ekonomi ini dalam artikelnya yang dimuat Mintpress News pada 18 Januari lalu.

Carey menulis, cara paling baik untuk melihat perbedaan pendekatan AS dan Cina dalam menanam investasi di Afrika adalah dengan melihat bagaimana kedua negara ini membantu negara-negara Afrika mengembangkan infrastruktur negara.

Menurut analisis Carey, bantuan-bantuan yang diberikan AS seringkali bersifat bisnis. Hal ini bisa dilihat dari salah satu badan amal raksasa AS yang mendominasi bantuan dan pembangunan di Afrika, Bill & Melinda Gates Foundation.

Salah satu bantuan utama yang diberikan Gates Foundation di kawasan ini adalah rangkaian “Bantuan Keuangan untuk Kaum Miskin” yang bekerjasama dengan Mastercard pada 2014 lalu. Proyek bantuan ini bertujuan untuk memberikan akses “pembayaran secara digital” untuk warga Nairobi, Kenya.

Di depan publik, perusahaan Mastercard mengaku kasihan dengan warga Nairobi karena tak memiliki kartu pembayaran digital. Maka dari itu,  mereka secara suka rela mendatangkan layanan pembayaran digital mereka ke kawasan itu.

Padahal, faktanya adalah,  proyek tersebut dilakukan dalam rangka mengamankan pasar Nairobi dan pengguna sistem Mastercard sebagai kostumer tetap bagi perusahaan itu. Mastercard sendiri mengkonfirmasikan bahwa  Gates Foundation memberikan akses kepada perusahaan itu untuk masuk ke pasar Nairobi tanpa mengeluarkan sepeser uang, dengan embel-embel ‘bantuan’.

Selain itu, Gates Foundation juga menggunakan pengaruh mereka untuk memasukkan bisnis agrikultur,  Monsanto, ke Afrika. Padahal, Monsanto telah lama memiliki reputasi buruk dalam merusak jaringan produksi pertanian lokal negara-negara berkembang, seperti yang terjadi di Haiti.

Sudah jelas, praktik-praktik seperti ini bukan hanya dilakukan oleh Gates Foundation. Contoh lain adalah badan amal milik Hillary Clinton, Clinton Foundation.

Carey menulis, berdasarkan bukti-bukti ini, semua orang bisa melihat bahwa bantuan-bantuan industri amal AS tidak selalu berbentuk tindakan altruistik sejati, namun hanyalah tindakan subsidi korporasi yang disembunyikan di balik topeng altruisme.

Dengan Afrika yang semakin lelah dengan bantuan-bantuan ‘bertopeng’ AS, mereka akhirnya menemukan mitra ekonomi baru yang jauh lebih bisa dipercaya dan diandalkan—Cina.

Cina diketahui menghabiskan dana $5 milyar per tahun untuk bantuan ‘langsung’, yang diakui lebih efektif bahkan oleh analis Barat, Bradley Parks. Karena mayoritas industri Cina berada di bawah kontrol pemerintah, maka tidak ada subsidi korporasi  seperti yang dilakukan badan-badan amal AS. Investasi yang dilakukan hanyalah perpanjangan dari kebijakan ekonomi pemerintah Cina, yang bertujuan mengangkat Afrika sebagai mitra, bukan sebagai klien.

Menurut Carey, investasi oleh Cina lebih berhasil membangun infrastruktur negara-negara Afrika, dan lebih banyak mendatangkan pekerjaan. Cina membangun semuanya, dari kota-kota baru, bendungan pembangkit listrik tenaga air raksasa, jalan tol, dan beberapa jalur kereta terpanjang.

Cina dengan giat menginvestasikan sistem pembangunan khususnya bagi negara-negara yang telah ditolak atau diabaikan oleh negara-negara Barat karena dianggap tidak penting. Dibandingkan dengan AS yang selalu menginterfensi hubungan dalam negeri Afrika dan memeras benua itu selama bertahun-tahun—bukan lagi hal yang mengejutkan jika pemimpin Afrika lebih suka bekerja sama dengan Beijing.

Di akhir tulisannya, Carey menulis tidaklah mengejutkan bahwa kini Afrika menolak bantuan dan investasi dari AS yang seringkali dipenuhi syarat-syarat memberatkan dan dilakukan dengan kekerasan. Sebaliknya, Cina dianggap sebagai pedagang dan investor jujur yang menghormati kedaulatan negara-negara Afrika. (ra/mintpress)

 

 

DISKUSI: