Fenomena Mati karena Kesepian yang Menghantui Jepang
Tokyo, LiputanIslam.com — Di sebagian besar dunia timur, istilah “forever alone” atau “sendirian selamanya” atau “mati karena kesepian” mungkin tampak sebagai lelucon atau hanya dramatisasi. Tapi sayangnya istilah ini sebenarnya nyata, dan bagi Jepang, hal itu sangat nyata.
Menemukan mayat-mayat dan orang-orang yang tidak mampu secara fisik bergerak dari keadaan diam atau kesepian begitu lama, menjadi masalah yang meningkat di Jepang. Demikian laporan situs japanrealm.com akhir pekan lalu.
Kodokushi atau ‘mati kesepian’ sudah terdengar cukup jelas. Kodokushi pada dasarnya adalah fenomena mengerikan di mana tubuh telah hilang atau belum ditemukan selama waktu yang panjang. Kodokushi juga dapat merujuk kepada mereka yang telah sendirian begitu lama hingga mereka telah menjadi sulit bergerak dan berbaring lemah hingga mereka mati karena kelaparan.
Kematian yang dilaporkan karena kodokushi, seperti data statistik dari karoshi (mati karena kelelahan bekerja), hampir selalu tidak akurat. Namun pada tahun 2009 dilaporkan oleh National Broadcasting Network Jepang, diperkirakan sekitar 32.000 manula meninggal sendirian. Beberapa angka-angka ini termasuk manula yang telah kehilangan istri atau suami sejak bertahun-tahun yang lalu. Tetapi potongan data ini juga merupakan orang-orang yang dilaporkan tewas karena kesepian itu sendiri.
Yang benar-benar menyebalkan dari hal ini, demikian tulis japanrealm.com dalam laporannya, adalah bahwa kodokushi telah berkembang sejak tahun 1983. Jumlah mereka yang terkena dampak kodokushi menjadi tiga kali lipat dari tahun 1980-an hingga awal-pertengahan 1990-an.
Saat ini, sebagaimana dilaporkan, di Tokyo sekitar 2.000 orang sejak tahun 2011 telah meninggal karena kodokushi. Itu belum termasuk angka lainnya dari seluruh Jepang.
Kebanyakan dari mereka yang dilanda kodokushi berusia antara 50-70 tahun, tetapi beberapa remaja dan pemuda juga telah ditemukan mati karena terisolasi. Mereka berhenti bersosialisasi, menjadi hampa, menjadi depresi, dan akhirnya berhenti makan. Jadi secara teknis seseorang bisa mati karena kesepian, terlepas dari tingkat usianya.
Seorang pemilik sebuah perusahaan jasa perpindahan rumah di Osaka, Taichi Yoshida, mengklaim bahwa 20 persen dari kliennya mengalami gejala kodokushi. Dia juga menyatakan beberapa tanda-tanda seseorang yang mungkin berada dalam bahaya kodokushi.
“Sebagian besar kematian karena kesepian adalah orang-orang yang agak berantakan,” kata Yoshida. “Ini adalah seseorang yang, ketika mereka mengambil sesuatu, mereka tidak menempatkannya kembali; ketika sesuatu rusak, mereka tidak memperbaikinya; ketika suatu hubungan berantakan, mereka tidak memperbaikinya.”
Sampai pada batas tertentu, kodokushi memiliki efek pada semua orang di Jepang. Para pemilik apartemen dan rumah sewa telah mengeluh karena tidak menerima pembayaran selama beberapa hari atau bulan, dan menemukan bahwa orang yang menyewa propertinya telah mati selama berminggu-minggu.
Ironisnya beberapa warga telah sengaja tidak melaporkan kematian anggota keluarga mereka, supaya mereka bisa mengumpulkan gaji/tunjangan bulanan mereka. Ini adalah pemikiran yang sangat menyedihkan dan memuakkan, tapi tentu saja ini bisa terjadi di seluruh dunia.
Untuk semua banyak alasan dan situasi yang mengarah pada kodokushi, laporan itu mengingatlah kita semua untuk memupuk empati, tidak takut untuk mengulurkan tangan kepada siapa saja yang mungkin berada dalam bahaya karena kesendirian.
“Pekerjaan sukarela adalah pilihan yang fantastis bagi siapa saja yang mungkin mengalami hal ini. Tapi juga ingat, tidak ada yang bisa mengalami kesepian yang sebenarnya,” tulis japanrealm.com.(ca)