Fenomena Anti Syiah dan Jejak Berdarah Mereka dalam Mendukung Terorisme
LiputanIslam –Peringatan Asyura tahun ini yang dilakukan oleh kelompok Syiah Indonesia kembali diwarnai oleh aksi-aksi penolakan. Di Bandung yang merupakan kota tempat berkantornya Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS), aksi penolakan dilakukan dengan melakukan konvoi kendaraan bermotor menuju kawasan Gegerkalong Girang. Di sana mereka berdemo dan berorasi menyampaikan penolakan terhadap Syiah dan berbagai ritual yang dilakukan kelompok Syiah, khususnya peringatan Asyura.
Dalam berbagai orasinya itu, para pendemo menyatakan bahwa Syiah adalah aliran sesat; dan Asyura juga ritual yang sesat, di mana di dalam ritual itu ada pelaknatan terhadap Sahabat Nabi. Demo kali ini juga menyoroti peringatan Asyura yang tahun in melibatkan kelompok adat Sunda Kabuyutan. Bagi para pendemo, ritual Asyura Syiah tersebut adalah bentuk kemusyrikan.
Senin malam (31/8/2020), TV One juga melakukan peliputan kegiatan Asyura, dengan menghadirkan wawancara atas sejumlah narasumber. Yang diwawancarai dari pihak Syiah adalah dua orang pengikut Syiah yang hadir dalam acara peringatan Asyura di Islamic Cultural Center, serta Ustadz Husein Shahab, salah seorang ulama Syiah di kawasan Condet Jakarta. Sedangkan dari pihak yang anti Syiah, dihadirkan Ustadz Zaitun Rasmin dan Ustadz Haikal Hassan Baras.
Dalam wawancara dengan reporter TV One, Ustadz Haikal mengatakan bahwa salah satu indikator kesesatan Syiah adalah penghalalan nikah mut’ah. Menurutnya, nikah mut’ah sudah dinyatakan haram oleh MUI. Ia juga mengatakan bahwa secara logika, nikah mut’ah itu tidak bisa diterima. Haikal Hassan menyatakan bahwa praktek mut’ah itu berbentuk peminjaman istri selama beberapa hari.
Sementara itu, Ustadz Zaitun Rasmin menyatakan bahwa di kalangan orang-orang Syiah, para Sahabat Nabi Muhammad itu dicaci-maki. Padahal, para Sahabat Nabi itu adalah figur-figur yang sangat dihormati. Karena itu, perilaku orang Syiah yang mencaci maki Sahabat tidak mungkin menciptakan ketenangan di kalangan Ahlu Sunnah wal Jamaah.
Ada benang merah yang menarik dari fenomena penolakan Syiah dan peringatan Asyura ini. Semua pihak yang melakukan penolakan dan pengecaman atas Syiah dan berbagai ritual yang dilakukan kaum Syiah ini ternyata memiliki jejak-jejak berdarah dengan prahara yang terjadi di Suriah. Mereka semua sangat aktif menyerukan ‘jihad’ di Suriah.
Kita semua tahu, akibat kecamuk perang, Suriah saat ini menjadi negeri yang porak-poranda. Jutaan orang terlunta-lunta menjadi pengungsi. Ratusan ribu nyawa manusia melayang sia-sia. Infrastruktur hancur lebur. Semuanya gara-gara Suriah didatangi oleh lebih dari 100.000 kombatan asing dari sekitar 100 negara dunia, termasuk sekitar 700 komatan di antaranya berasal dari Indonesia. Mereka datang dengan bendera jihad, menegakkan agama Islam, ingin mendirikan panji khilafah.
‘Musuh’ mereka adalah rezim yang berkuasa di Suriah bernama Bashar Assad. Bendera jihad dipancangkan di atas tiga asumsi pemikiran palsu. Pertama, Assad dipersepsikan sebagai rezim Syiah. Ini adalah asumsi palsu karena faktanya, dalam urusan politik pemerintahan, Assad adalah seorang pengusung ideologi sosialis Ba’ats. Ideologi politik Assad itu sama sekali tidak berbau agama; bukan Islam, apalagi Syiah. Berbeda dengan Iran, misalnya, atau milisi Hezbollah di Lebanon, yang secara terang-terangan menganut ideologi politik Syiah.
Asumsi kedua, dikatakan bahwa semua orang Syiah pastilah menindas Sunni. Ini juga asumsi ‘ngawur’. Bertahun-tahun lamanya Sunni Syiah di Suriah hidup berdampingan secara damai. Mufti Agung dan ulama paling berpengaruh di Suriah juga orang Sunni. Tak akan pernah ditemukan jejak-jejak sejarah apapun yang menunjukkan bahwa orang-orang Syiah yang berkuasa di Suriah melakukan persekusi atas nama mazhab kepada saudara-saudara mereka dari kalangan Ahlu Sunnah.
Ketiga, disebar banyak sekali foto dan video terkait dengan ‘kekejaman’ Assad terhadap rakyatnya. Faktanya, semua video dan dan foto itu hoax belaka. Ada korban kekerasan di Palestina, mayat anak-anak di Irak, korban gempa bumi di Azerbaijan, korban kecelakaan lalu lintas di Turki, korban serangan udara Arab Saudi di Yaman, video hukuman terhadap tentara Jordania yang melakukan desersi, dan bahkan hukuman mati terhadap pengedar narkoba di Mexico. Semuanya diberi ‘caption’ sebagai orang-orang Sunni yang menjadi korban kekejaman Assad.
Suriah porak-poranda oleh para teroris dengan isu-isu palsu tersebut; tuduhan-tuduhan yang tak lebih dari fitnah belaka. Para teroris itu tergabung ke dalam berbagai faksi, di antaranya yang sangat mematikan adalah ISIS dan Jabhah Al-Nusra. Kedua kelompok teroris ini punya jaringan di Indonesia. Salah satu pekerjaan penting jaringan teroris di Indonesia ini adalah rekruitmen dan pendanaan. Maka, digencarkanlah duplikasi isu-isu jihad palsu itu di Indonesia.
Jejak-jejak digitalnya sudah terlalu jelas. Di Indonesia juga muncul ketiga narasi palsu tentang Suriah, yaitu bahwa: Assad adalah Syiah, orang Syiah pasti menindas Sunni saat berkuasa, dan bahwa Assad melakukan penindasan terhadap rakyatnya yang Sunni. Untuk menguatkan narasi tersebut, isu-isu ikhtilaf dimunculkan. Tuduhan-tuduhan lama bahwa itu Syiah mengkafirkan Sahabat Nabi, punya Al-Quran yang berbeda, punya syahadat yang berbeda, menghalalkan perzinaan berkedok mut’ah, punya ritual melukai diri sendiri, menuhankan para imam, dan berbagai tuduhan lainnya.
Mengiringi penguatan narasi anti Syiah itu, terbentuklah sebuah lembaga bernama Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) yang berpusat di Bandung pad atahun 2014. Maka, isu-isu Suriah pun digaungkan oleh sejumlah ‘ustadz’ dan difasilitasi oleh lembaga tersebut. Mereka menggaungkan tuduhan dan fitnah kepada Syiah dalam konteks dukungan mereka kepada apa yang mereka sebuat sebagai ‘jihad’ di Suriah. Padahal, apa yang mereka sebut jihad itu, sebenarnya tak lain merupakan aksi-aksi terorisme yang keji.
Maka, jejak-jejak digital merekam bagaimana Haikal Hasan berkali-kali mengutuk Bashar Assad dan menyamakannya dengan Firaun dan Namrud. Zaitun Rasmin mengatakan bahwa Assad melakukan pembantaian terhadap rakyatnya. Zaitun juga ikut berorasi di depan Kedutaan Rusia di Jakarta dan menyebut negara Rusia bertanggung jawab terhadap kebiadaban rezim Syiah Assad yang membantai rakyatnya yang Sunni.
Anti Syiah dan kelompok radikal memang tak mungkin bisa dipisahkan. Bahkan, pada tahun 2018, seorang teroris ditangkap di kawasan Cijagra, Bandung. Teroris tersebut ternyata adalah anggota Jundullah ANNAS. Dalam penangkapan-penangkapan teroris lainnya pun polisi selalu saja menemukan buku-buku anti Syiah sebagai barang bukti, selain buku-buku pedoman jihad serta juga berbagai alat-alat untuk melakukan tindakan terorisme seperti senjata, bom rakitan, dan lain sebagainya.
Saat ini, aksi-aksi terorisme di Indonesia semakin meredup, seiring dengan meredupnya isu ‘jihad’ di Suriah. Akan tetapi, sayangnya, serangan terhadap Syiah yang menjadi isu pemicu terorisme itu masih saja bergentayangan. Ustadz-ustadz radikal tetap masih diberi ‘panggung’ untuk menebar fitnah-fitnah mereka. (os/liputanislam)