Eskalasi Ketegangan Menuju Perang Idlib

0
680

LiputanIslam.com –  Bayang-bayang perang besar kian menampak di provinsi Idlib di bagian barat laut Suriah. Pasukan Arab Suriah (SAA) dikerahkan di sana dengan dukungan pasukan Iran, para pejuang Hizbullah, dan Angkatan Udara Rusia. Lebih dari 25 kapal perang Rusia menyertai dua kapal selam negara ini di Laut Tengah untuk mengantisipasi intervensi militer Amerika Serikat (AS) yang bermaksud mencegah kembalinya Idlib dari tangan kelompok-kelompok teroris dan pemberontak ke kedaulatan Suriah setelah kurun waktu tujuh tahun.

Ketika Rusia mengerahkan angkatan lautnya di peraian Suriah di Laut Tengah, AS juga melakukan hal yang sama di perairan Teluk Persia sehingga mengindikasikan kemungkinan dua negara adidaya ini akan berkonfrontasi tingkat regional atau bahkan global jika tidak dicapai solusi. Ada kesan bahwa pemerintah Presiden AS Donald Trump bermaksud “membebaskan” Idlib.

Latihan perang Rusia di Laut Tengah Timur dengan partisipasi Cina tercatat yang terbesar dalam 40 tahun terakhir, sehingga mempertebal probabilitas benturan dengan AS. Rusia telah membuat perhitungan dengan sangat matang untuk tidak akan mengorbankan raihan terbesarnya di Suriah.

Cuitan Presiden AS Donald Trump di halaman Twitternya juga turut memanaskan suasana.

“Presiden Suriah Bashar Assad hendaknya tidak menyerang provinsi Idlib secara membabi buta. Rusia dan Iran akan melakukan kesalahan kemanusiaan yang besar dalam tragedi kemanusiaan yang potensial ini,” tulisnya.

Peringatan Trump mendapat reaksi penolakan sengit dari Dmitry Peskov, Jubir Presiden Rusia Vladimir Putin.

“Keberadaan kawanan bersenjata di Idlib mengganggu proses perdamaian di Suriah, dan membuat kota ini menjadi pangkalan untuk serangan terhadap pasukan Rusia di pangkalan (udara) Hmeimim dan pangkalan (laut) Tartus,” tegas Peskov dengan mengacu pada eskalasi serangan yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir ke dua pangkalan tersebut dengan pesawat nirawak dan roket.

Trump tak pernah membuat peringatan demikian ketika SAA melancarkan operasi pembebasan Ghouta Timur ataupun Daraa. Saat itu pemerintahan Trump memilih bungkam. Lantas mengapa sekarang Trump tiba-tiba kebakaran jenggot sehingga bahkan menggerakkan armada tempurnya ke arah perairan Suriah dan mengancam akan bereaksi telak jika terjadi serangan bom kimia di Suriah?

Pertanyaan ini dijawab oleh dua orang pakar strategi; satu dari AS dan yang lain dari Inggris dalam acara Cross Talk RT Selasa lalu (4/9/2018). Menariknya, kedua pakar itu sama-sama mengatakan bahwa Israel dan Arab Saudilah yang mengompori Trump agar mengambil sikap demikian, karena Riyadh dan Tel Aviv tidak menghendaki kemenangan aliansi segi tiga Rusia, Iran, dan Suriah. Israel dan Saudi tidak menginginkan Rusia berhasil merealisasikan tujuannya, terutama pemulangan pengungsi Suriah dan pembuatan kerangka demokrasi baru hasil rekonsiliasi untuk pemulihan keamanan dan stabilitas Suriah.

Israel gagal menghentikan eksistensi Iran di Suriah, baik dengan cara menekan Rusia maupun melalui serangan udara dan rudalnya ke sasaran-sasaran di Suriah. Karena itu, skenario serangan AS ke Idlib menjadi harapan terakhir Tel Aviv dan Riyadh, dan bisa jadi kesepakatan soal ini telah dicapai dalam kunjungan Penasehat Keamanan Nasional AS John Bolton ke Israel pekan lalu. Bolton adalah pejabat senior AS yang paling getol menyokong pendudukan Israel atas al-Quds (Yerussalem). Dalam kunjungan itu dia mengadakan pertemuan dengan sejawatnya di Israel serta Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan para jenderal negara Zionis penjajah Palestina ini.

Menteri Pertahanan Israel Avigdor Lieberman juga melontarkan pernyataan pedas saat mengomentari kunjungan beberapa hari lalu Menteri Pertahanan Iran Amir Hatami ke Damaskus, pertemuannya dengan Presiden Suriah Bashar al-Assad, kepergiannya ke Aleppo, dan penandatanganan perjanjiannya dengan pemerintah Suriah mengenai kiprah Iran di Suriah.

Lieberman bahkan menunjukkan kemarahannya dengan menyatakan tidak tertutup kemungkinan Israel menyerang sasaran Iran di Irak sebagaimana di Suriah, dan bisa jadi serangan rudal udara Israel ke kota Hama dan Tartus terpicu oleh kemarahan itu.

Ada satu hal yang pasti diyakini sepenuhnya oleh Trump, yaitu bahwa jika sampai terjadi konflik AS dengan Rusia di Idlib maka Arab Saudi dan negara-negara kerajaan lainnya di Teluk Persia, terlebih Uni Emirat Arab, akan menutup sebagaian besar –kalau bukan seluruh- dananya. Masalah ini bisa jadi terangkat sebagai topik utama pembicaraan Emir Kuwait Syeikh Sabah al-Ahmad dengan Trump di Gedung Putih, Rabu (5/9/2018), selain tema mengenai krisis Teluk Persia tentunya.

Beberapa hari ke depan tampaknya akan sangat menentukan perkara Idlib dan sekitarnya. Jika solusi politik yang dapat diterima oleh semua pihak tak tercapai maka solusi militer tak akan terelakkan lagi, perkembangan yang berpotensi menjurus pada perang regional atau bahkan dunia. Ini karena pertemuan puncak segi tiga Rusia, Iran, dan Turki yang akan digelar di Teheran pada Jumat (7/9/2018) berkemungkinan berubah menjadi puncak eskalasi untuk Idlib, apalagi juga terlihat banyak indikasi SAA akan memulai operasi militernya secara besar-besaran ke Idlib Sabtu 9 September mendatang.

Turki kuatir mengaku kuatir mendapat gelombang baru pengungsian dari Suriah, termasuk anasir kelompok teroris Jabhat al-Nusra yang belakangan menggunakan nama Hayat Tahrir al-Sham, sebagaimana juga kuatir serangan udara Rusia akan menjurus pada penumpasan kelompok-kelompok Turkistan Suriah dan non-Suriah yang bersekutu dengan Turki. Hanya saja, keputusan Turki pekan lalu mencantumkan Hayat Tahrir al-Sham dalam daftar organisasi teroris mengesankan persetujuan Turki terhadap penumpasan kelompok ini serta kemungkinan tercapainya kesefahaman politik dan militer Turki dengan Rusia dan Iran terkait dengan Idlib.

Pemerintah Suriah sendiri bertekad untuk membayar dengan harga apapun demi merebut kembali Idlib yang kini menjadi kawasan penting terakhir yang masih diduduki kawanan bersenjata. “Kecemasan” Trump akan kemungkinan terjadinya “tragedi kemanusiaan” hanya menjadi bahan ledekan para juru bicara pemerintah Suriah. Mereka balik menyerang Trump dengan mengatakan bahwa dialah yang telah menghancurkan Mosul dan Raqqa di atas kepala penduduknya dengan dalih menumpas ISIS. Menurut mereka, Trump telah melakukan apa yang pernah diperbuat oleh pendahulunya, George Bush, yang telah membunuh dua juta orang Irak dengan serangan udara dan blokade. Dengan kata lain, seperti dikatakan oleh seorang petinggi Suriah, Trump adalah orang yang paling layak di muka bumi untuk mendapat peringatan soal tragedi kemanusiaan. (mm/raialyoum)

DISKUSI: