Derita Dua Kota Syiah yang Dikepung di Suriah
Liputanislam.com — Sebelum ini ada berbagai laporan tentang dua kota Syiah bernama Nabal dan Zahra di Suriah. Penduduk dua kota ini dikepung selama 730 hari hingga kini oleh pasukan pemberontak. Satu-satunya kesalahan mereka adalah status mereka sebagai Syiah, yang merupakan dosa tak terampuni bagi pemberontak. Kebutuhan-kebutuhan paling mendasar sekalipun tak bisa diperoleh mereka.
Dokumen-dokumen menunjukkan, dua kota terlupakan ini telah mengalami banyak penderitaan hingga kini. Hadi, salah satu warga yang berhasil lolos dari kepungan, berkata bahwa pasca jatuhnya Aleppo dan dikuasainya Ghazi Antab oleh pemberontak, dua kota ini dikepung karena motif perbedaan mazhab.
Hadi mengatakan, ”Awalnya, warga hanya kesulitan mendapat makanan. Tapi kemudian, hampir semua barang menjadi langka. Kami mencatat banyak kematian anak-anak akibat kekurangan makan di masa itu.”
Tiga bulan setelah pengepungan, sebuah perlintasan menuju keluar dibuat di kawasan Ifrin. Hingga dimulailah penyelundupan bahan makanan ke dua kota Syiah ini melalui jalan tanah. Banyak dari warga yang membawa makanan melalui perlintasan ini dengan risiko nyawa mereka.
Kondisi ini tak berlangsung lama. Aliansi kaum Kurdi di utara Suriah dengan pemberontak menyebabkan jalur ini tertutup kembali. Beberapa lama kemudian, pemerintah Suriah memperbaiki hubungan dengan kaum Kurdi dan membawa pengaruh positif bagi warga dua kota ini. Dengan dimulainya pertempuran antara kaum Kurdi dan pemberontak di Hay Ashrafiyah, jalur penyelundupan ini kembali terbuka. Warga lalu memanfaatkannya sebagai sumber tunggal mendapatkan bahan makanan, meski dengan harga yang sangat mahal. Bahan makanan yang diperoleh pun hanya terbatas dan tidak mencukupi semua kebutuhan warga.
Ummu Raghib, seorang warga lain kota ini, juga bercerita tentang derita selama pengepungan. Ia berkata, ”Pengepungan ini terus berjalan dan membuat kami terpaksa memakan rerumputan di atas kendaraan kami. Anak-anak kami mati kelaparan. Cucu saya sendiri mati di depan mata saya. Dia berjuang selama sebulan lebih melawan rasa lapar, tapi dia baru berusia 11 bulan dan tak kuat menahan lapar hingga akhirnya mati.” Sambil tersenyum dan mengusap air mata, Ummu Raghib berkata, ”Dengan berkah Sayyidus Syuhada, kami menganggap dia mati syahid.”
Tentang musibah yang menimpa 63 wanita kota ini, Rabi`, seorang pemuda berusia 17 tahun, berkata, ”Jika mereka telah syahid, kami akan menziarahi kubur mereka dan tiap pagi membacakan Fatihah buat mereka. Tapi kami tak tahu nasib mereka sekarang.” Dia bercerita bahwa kadang kala, warga kotanya diculik. Kasus terbaru adalah diculiknya 63 wanita dan anak-anak oleh kaum pemberontak. “Mereka dibawa dengan bis menuju kawasan-kawasan yang diduduki pemberontak,” jelasnya.
Abu Muhammad mengatakan, ”Jika kami tidak mati kelaparan, kami akan mati oleh peluru dan mortir. Kematian bukan sebuah hal aneh bagi kami. Tiap hari, kami melihat korban yang tewas akibat tembakan mortir di rumah-rumah. Kebanyakan mereka adalah anak-anak. Bertahun-tahun lalu, kami hidup bersama dengan tetangga kami dari kalangan Ahlussunnah. Sebelum kemunculan Front An-Nusra dan ISIL, kondisi tidak seburuk ini. ISIL-lah yang memfatwakan pengepungan kami.”
Dia menyatakan, ratapan anak kecil dan wanita adalah senandung kematian yang mengalun tiap pagi di gang-gang kota ini.(ABNA)