Al-Quds: Melawan Propaganda Zionis tentang Klaim Temple Mount
LiputanIslam.com –Beberapa hari terakhir ini, Israel kembali menunjukkan kejahatan mereka secara terang-terangan kepada dunia. Pada tanggal 5 April 2023, aparat Zionis menyerbu ke kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem, memukuli jamaah masjid, menembakkan granat kejut, serta memaksa jamaah masjid keluar dari masjid. Sekitar 400 orang bahkan ditahan oleh aparat Zionis. Mereka juga menghancurkan sebuah klinik kecil yang menempel di masjid untuk mencegah paramedis memberikan perawatan kepada korban yang terluka.
Orang-orang Palestina sangat menyadari pentingnya dokumentasi dari setiap kejahatan Israel yang mereka hadapi. Karena itulah, dalam waktu sangat singkat, video-video rekaman serangan brutal ini, dari berbagai sudut, tersebar luas di media sosial.
Media massa mainstream Barat, yang kemudian dicopy-paste oleh media-media lokal, dengan segera mengupayakan penggiringan opini untuk menutupi kejahatan Israel. Mereka membangun narasi “two-side-ism”, istilah yang disampaikan Yumna Patel, jurnalis asal Betlehem, Palestina. Maksudnya, media berusaha menunjukkan bahwa yang terjadi adalah konflik antara dua pihak.
Kata-kata yang dipilih adalah bentrokan (clash), barikade, dan agitator (penghasut/pemicu konflik). Mereka memilih kata-kata dengan tujuan untuk membangun narasi bahwa ada dua pihak dengan kekuatan setara, saling bentrok; pihak Palestina membuat barikade di dalam masjid (sehingga seolah pihak Palestina-lah yang memanfaatkan masjid sebagai basis kerusuhan); dan pihak Palestina-lah yang menjadi penghasut bentrokan ini.
Dalam hal ini, media Barat sepenuhnya menerima narasi yang disampaikan oleh Zionis tanpa melakukan tugas jurnalistik yang seharusnya, yaitu secara kritis melakukan investigasi, crosscheck nara sumber, dan menempatkan fakta dalam konteksnya yang tepat.
Kementerian luar negeri rezim Zionis mengumumkan di twitternya bahwa tentara Israel “terpaksa masuk ke masjid Al-Aqsa karena ada sekelompok pemuda Palestina membawa kembang api dan kayu.”
Bagaimana mungkin menyetarakan kembang api dengan senapan canggih Israel? Israel dikenal sebagai produsen persenjataan canggih yang diekspor ke berbagai negara di dunia. Namun propaganda media, yang hanya menyuarakan ulang narasi Israel, telah menciptakan opini kesetaraan antara kembang api dengan senapan mesin, granat kejut, alat pemukul, dan segala fasilitas lengkap yang dimiliki tentara dan polisi Israel.
Media menggunakan kata “bentrokan” dengan tujuan untuk memberikan impunitas kepada Israel, seolah Israel tidak bersalah, seolah Israel hanya membela diri. Penggunakan kata ‘bentrokan’ juga bertujuan untuk memosisikan setara antara pihak tertindas dan pihak penindas; antara penjajah dan yang dijajahnya; antara tentara Israel yang memiliki senjata sangat lengkap dan canggih serta segala fasilitas, dengan orang-orang Palestina yang tidak bersenjata. Mereka berusaha menyetarakan posisi senapan mesin Israel dengan kembang api.
Narasi kedua yang sering disebarluaskan oleh media adalah menyebut “Masjid Al-Aqsa di Yerusalem adalah tempat penting bagi tiga agama, yakni Islam, Kristen, dan Yahudi.” Narasi ini memunculkan opini seolah masjid Al-Aqsa bukan milik kaum Muslim, tetapi situs yang diperebutkan oleh tiga umat beragama. Hal ini jelas ahistoris, dan semata-mata menyuarakan ulang ambisi rezim Zionis untuk menguasai kawasan Al-Aqsa secara keseluruhan.
Kaum Kristiani sama sekali tidak memiliki klaim atas masjid Al-Aqsa. Umat Kristiani Palestina memiliki banyak gereja-gereja bersejarah di Jerusalem timur, dan mereka juga menghadapi aksi-aksi kekerasan dan pembatasan dari rezim Zionis.
Sementara itu, kaum Yahudi-Zionis, mengklaim bahwa kawasan Al-Aqsa adalah Temple Mount yang dulu dibangun oleh Raja Salomo putra Raja Daud (Nabi Sulaiman; putra Nabi Daud) tahun 950 sebelum Masehi (berarti, 3000 tahun yang lalu). Karena kaum Yahudi-Zionis mengklaim bahwa mereka ahli waris Raja Daud, maka, kawasan Al-Aqsa seharusnya milik mereka. Mereka menuduh kaum Muslimin telah merampas “hak” mereka.
“Menteri keamanan” Israel, Ben-Gvir, dalam wawancara di televisi (4/4/2023), mengucapkan kalimat ini, “Orang-orang Yahudi harus menyerbu Temple Mount (Masjid Al-Aqsa), karena kawasan itu tidak hanya untuk orang Arab. Saya menyeru orang-orang Yahudi untuk menyerbu Temple Mount. Ini adalah situs terpenting bagi Negara Israel. Saya tidak menerima bahwa hanya Muslim yang bisa masuk ke situs tersebut… Yahudi juga memiliki hak asasi manusia di negara ini, dan mereka memiliki hak untuk masuk ke situs tersebut!”
Narasi yang dibangun Zionis ini jelas tidak logis dan ahistoris. Secara logika, bagaimana mungkin kisah 3.000 tahun yang lalu menjadi basis legalitas dari fenomena kepemilikan tanah di era modern? Teori hukum apa yang bisa menerima prinsip dan klaim seperti ini? Bagaimana bisa memastikan secara hukum bahwa orang-orang Yahudi di Israel sekarang ini adalah ahli waris Nabi Daud yang hidup 3.000 tahun yang lalu?
Secara historis, Temple Mount telah dihancurkan oleh orang Babilonia pada 586 sebelum Masehi. Lalu, Temple Mount dibangun lagi pada abad keenam SM dan berdiri selama hampir 600 tahun sebelum dihancurkan oleh kekaisaran Romawi pada tahun 70 M. Sejak itu, area itu tinggal reruntuhan belaka, sampai akhirnya dibangun menjadi masjid oleh Khalifah Umar bin Khattab pada tahun 636 M.
Menurut hukum internasional pun, Israel sama sekali tidak berhak atas kawasan Al-Aqsa. Kawasan Al-Aqsa berada di Yerusalem, dan menurut hukum internasional, kota Yerusalem seharusnya berada di bawah perwalian PBB. Namun yang dilakukan Israel justru sebaliknya. Tahun 1949, Israel mengusir semua orang Palestina dari kawasan Yerusalem barat dan menjadikannya sebagai bagian dari ‘negara’ Israel. Di tahun yang sama, PBB langsung menyatakan bahwa tindakan Israel itu ilegal, namun tidak ada tindakan konkrit apapun untuk menghukum rezim Zionis.
Mulai tahun 1967, Israel menduduki Yerusalem timur, hingga hari ini. Dengan demikian, status Israel di kawasan Al-Aqsa adalah kekuatan pendudukan (occupying forces), alias penjajah. Seharusnya mereka tidak berada di sana. Mereka sama sekali tidak berhak mengatur, apalagi menghalangi dan menyerang, kaum Muslim dalam beribadah di masjid Al-Aqsa.
Pernyataan Ben-Gvir yang membawa-bawa istilah HAM, juga sangat absurd. Bagaimana mungkin, rezim yang melakukan pelanggaran terang-terangan atas hukum internasional, melakukan segala jenis kejahatan kemanusiaan kepada bangsa Palestina selama 75 tahun, bicara soal HAM? Bahkan lembaga HAM Barat sendiri sudah mengakui bahwa Israel adalah pelanggar HAM. Namun, lagi-lagi media sengaja melupakan semua konteks ini.
Di tengah dominasi jaringan media Barat di dunia, Hari Al-Quds Internasional memiliki peran yang sangat signifikan. Melalui aksi-aksi demo solidaritas Palestina di seluruh penjuru dunia, di hari Jumat terakhir bulan Ramadhan, opini publik dapat diarahkan kembali kepada realitas yang sesungguhnya, bahwa Palestina adalah bangsa yang masih terjajah dan menjalani segala bentuk ketertindasan selama 75 tahun terakhir ini. Fakta bahwa ini adalah isu penjajahan, bahwa yang terjadi adalah perlawanan bangsa terjajah melawan bangsa penjajah harus terus-menerus disampaikan kepada publik. Targetnya adalah muncul kesadaran publik dunia, apapun ras dan agamanya, untuk bersatu bersama-sama melawan kejahatan Israel dan rezim pendukungnya, Amerika Serikat.[]