Trump Terbukti Bersalah, Jangan Terlalu Agungkan Kebijakan AS!
LiputanIslam.com –Di bawah presiden barunya, yaitu Joe Biden, AS terlihat serba berbeda. Begitulah gestur politiknya. Begitu menjabat, presiden tertua dalam sejarah pemerintahan AS itu langsung mengeluarkan beberapa keputusan yang intinya membatalkan berbagai kebijakan pendahulunya, yaitu Donald Trump. Biden menyatakan bahwa AS kembali bekerja sama dengan WHO, kembali menaati Perjanjian Iklim Paris, serta membatalkan sejumlah kebijakan Trump terkait dengan imigran.
Terkait dengan pandemi, Biden menyatakan AS segera kembali bergabung menjadi anggota Badan Kesehatan Dunia (WHO). Keputusan ini mengoreksi kebijakan Trump yang menyatakan negaranya keluar dari WHO. Saat itu, Trump beralasan bahwa WHO tidak terbuka dalam penanganan Covid-19. Trump juga menuduh WHO dipengaruhi oleh China dalam kebijakan penanganan Covid-19.
Isu lain yang dikoreksi Biden terkait dengan partisipasi AS dalam masalah lingkungan. Saat berkuasa, Trump menyatakan pemerintahannya keluar dari Perjanjian Iklim Paris dengan alasan ingin menjaga kestabilan ekonomi di sektor eksplorasi energi, terutama minyak bumi, gas alam, dan batubara. Kini, di bawah, Biden, AS menyatakan bahwa kebijakan tersebut keliru, dan AS siap berkomitmen dalam mengembangkan energi ramah lingkungan dan pencegahan pemanasan global.
Lalu, di bidang imigrasi, Biden juga mengoreksi kebijakan Trump soal larangan masuk terhadap penduduk dari tujuh negara mayoritas Muslim (Suriah, Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman). Masih di bidang keimigrasian, Biden juga mengoreksi kebijakan Trump soal imigran dari Meksiko. Biden berjanji akan segera menghentikan pembiayaan proyek tembok penghalang yang digagas Trump, di sepanjang perbatasan dengan Meksiko.
Kebijakan Biden itu menunjukkan bahwa AS saat ini siap tampil dengan “wajah baru”. Tiga kebijakan tersebut adalah gestur politik yang bertentangan secara diametral dengan kebijakan-kebijakan luar negeri AS sebelumnya. Ini bermakna bahwa AS di bawah Biden melakukan koreksi atas kebijakan Trump. Artinya pula, AS mengakui kesalahan dari sejumlah kebijakan luar negerinya selama AS dipimpin Donald Trump, karena koreksi hanya bermakna satu: pengakuan kesalahan. Jika tidak salah, tentunya tak perlu ada koreksi, kan?.
Pada dasarnya, perubahan kebijakan secara tajam, adanya pengakuan atas kesalahan, serta dibuatnya sejumah koreksi atas berbagai kesalahan terdahulu, adalah urusan dalam negeri negara manapun. Dan itu adalah hal yang wajar terjadi pada dinamika perjalanan politik sebuah bangsa. Negara kita pun berkali-kali melakukan sejumlah koreksi dan itu sepenuhnya menjadi urusan negara kita.
Dulu, di pertengahan tahun 1960-an, terjadi “koreksi” atas sistem demokrasi terpimpin, hingga menghasilkan Orde Baru. Tapi, setelah berjalan 32 tahun, Orde Baru pun dianggap menyeleweng, sehingga “dilengserkan” dan “dikoreksi” oleh gerakan reformasi. Sekali lagi, proses-proses seperti itu sepenuhnya menjadi urusan dalam negeri Indonesia, yang memang terus melakukan pembenahan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Hal yang sama juga mestinya berlaku bagi segala dinamika politik di AS. Selama empat tahun terakhir, rakyat AS dipimpin oleh seorang presiden yang menelurkan sejumlah kebijakan kontroversial, dan dianggap sangat merugikan rakyat negara itu. Kini, pemerintahan baru AS melakukan koreksi atas cara Trump dalam memerintah, termasuk yang terkait dengan kebijakan-kebijakan luar negeri AS.
Jadi, pemerintahan baru AS mengakui bahwa negaranya selama empat tahun ini “bersalah” minimalnya pada tiga isu penting yang terkait dengan kebijakan luar negeri. Kita tidak tahu, apakah koreksi tersebut juga akan diperluas kepada kebijakan-kebijakan kontroversial Trump lainnya, seperti masalah pemindahan kedutaan AS dari Te Aviv ke Jerussalem, inisiatif AS yang mendorong normalisasi hubungan diplomatik negara-negara Arab dengan Israel, keluarnya AS dari perjanjian nuklir Iran, serta instruksi Trump untuk melakukan teror yang membunuh Jenderal Qassem Soleimani.
Bagi publik dunia, adanya koreksi dan pengakuan bersalah tersebut mestinya menjadi pelajaran penting bahwa kebijakan luar negeri AS tidak selamanya benar. Ini penting untuk ditekankan, karena selama ini, publik dunia masih dijejali dengan opini publik yang mencoba menjustifikasi segala kebijakan luar negeri Gedung Putih, siapapun presidennya, dan sekontroversial apapun kebijakan tersebut.
Mereka yang selama ini mengagungkan segala kebijakan AS pada dasarnya adalah orang-orang yang bermental budak, bermental inlander. (os/editorial/liputanislam)