Trump, Politik Nasional AS, dan Masa Depan Palestina
LiputanIslam.com –Sikap dan kebijakan Donald Trump yang kontroversial kini semakin menuai penentangan keras dari kalangan internal. Hal ini tak lepas dari even politik paling panas yang akan digelar tahun depan, yaitu pilpres. Sebagaimana biasanya, sebagai petahana, Trump hampir pasti akan maju lagi sebagai capres mewakili Partai Republik. Dan juga, seperti biasanya, majunya kembali calon petahana akan dibarengi dengan berbagai serangan politik yang sangat keras dari berbagai pihak.
Akan tetapi, situasi yang dihadapi Trump memang berbeda. Serangan yang ia hadapi terlihat lebih keras dan lebih variatif. Akibatnya, sebagaimana dilansir oleh berbagai lembaga survei di AS, tingkat kepuasan publik atas kinerja Trump merosot tajam hingga tinggal menyisakan angka 37%. Sulit menemukan dalam sejarah di mana seorang petahana yang akan maju sebagai capres untuk periode berikutnya barada dalam situasi tingkat kepercayaan publik yang sangat merosot seperti Trump.
Trump memang pemimpin Amerika yang kontroversial. Kemenangannya dalam pilpres 2016 ditandai dengan masifnya hoax, dan disinyalir menggunakan prinsip Post-Truth. Rand Corporation menyebutnya sebagai propaganda a la Rusia, di mana fakta kebenaran tidak lagi penting, karena yang penting adalah publik percaya kepada berita tersebut.
Setelah berhasil meraih kemenangan, Trump kemudian mengambil berbagai tindakan yang juga kontroversial. Ia memberlakukan pembatasan untuk imigran Muslim yang mau masuk ke wilayah Amerika. Kemudian, berturut-turut, Trump juga memerintahkan pembangunan tembok pemisah Amerika-Mexico, keluar dari Perjanjian Paris terkait perubahan iklim dunia, keluar dari kemitraan pasifik, dan kemudian, yang paling menghebohkan adalah pemindahan kedutaan besar Amerika di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Kebijakan tentang Palestina ini memancing kemarahan besar dari Dunia Islam. Bagi kaum Muslimin, kebijakan Trump ini adalah pengkhianatan terang-terangan AS terhadap bangsa Muslim Palestina. Akibatnya, Trump memanen hujatan sangat keras dari banyak kalangan Muslim.
Belum lagi reda kontroversi kebijakan tersebut, Trump juga menyatakan diri keluar dari Perjanjian Nuklir Iran, keluar dari Mahkamah Internasional, serta melancarkan perang dagang dengan China, Rusia, Turki, dan banyak negara lainnya.
Di dalam negeri, selain ungkapan-ungkapan rasis yang sering muncul dari mulutnya, Trump juga menjadi pemecah rekor untuk situasi “Shutdown” atau penutupan sebagian institusi pemerintahan Amerika Serikat, yang berlangsung hingga 35 hari. Shutdown itu telah membuat sekitar 800 ribu pegawai federal dipaksa cuti atau bekerja tanpa dibayar.
Elizabeth Warren, senator Demokrat yang baru saja menyatakan diri siap maju untuk menantang Trump, mengeluarkan pernyataan keras berbau ancaman. Menurutnya, dirinya mungkin saja tidak akan berhadapan dengan Trump pada pilpres tahun depan, karena sebelum 2020, Trump sudah akan meringkuk di balik jeruji penjara, untuk berbagai kejahatannya selama ini.
Perlawanan dari pihak Partai Demokrat juga datang dari anggota Kongres. Ilhan Omar dan Rashida Tlaib, dua Muslimah di Kongres, semakin gencar mengkampanyekan gerakan boikot Israel. Mereka menyebutnya sebagai upaya untuk mengoreksi kebijakan luar negeri yang sangat tidak adil sekaligus melanggar prinsip-prinsip HAM, karena terlalu disetir oleh kepentingan Israel.
Dalam beberapa hari ke dapan, kita akan melihat situasi politik Amerika yang semakin memanas. Ini adalah tantangan yang sangat serius buat Trump dan juga masa depan Amerika Serikat. Dan ini, artinya, kita juga harus bersiap-siap menyaksikan kemungkinan munculnya dinamika dalam hal masa depan Palestina. Sebagaimana yang kita tahu, Amerika adalah aktor intelektual utama dalam krisis Palestina. Apapun yang terjadi di Amerika akan berimbas secara kuat kepada nasib Palestina. (os/editorial/liputanislam)