Solidaritas Al-Quds, Pandemi, dan Munculnya Harapan Baru

0
1222

LiputanIslam.com –Pandemi Covid-19 yang mendera seluruh penduduk bumi membuat suasana Al-Quds tahun ini menjadi sangat berbeda. Pergelaran Al-Quds yang biasanya dilakukan dengan cara menggelar demonstrasi diubah dengan pergelaran even-even online, seperti seminar dan perlombaan bertemakan solidaritas Al-Quds. Perubahan model peringatan ini menciptakan suasana baru yang menyeruakkan harapan berbeda. Solidaritas Al-Quds menjadi lebih terasa masif dan kreatif. Ketika aspirasi solidaritas digelorakan lewat media internet, jejak-jejak digitalnya menjadi abadi serta menembus sekat-sekat ruang dan waktu. Pandemi tahun ini malah berpotensi besar membuat suara-suara Al-Quds menjadi semakin mendekati tujuannya.

Solidaritas Al-Quds adalah even di mana nasib bangsa Palestina kembali dibicarakan. Al-Quds akan terus digelar sampai terbebasnya Palestina dari cengkeraman Israel. Hingga hari ini, penjajahan Zionis Israel atas Palestina sudah berlangsung 72 tahun. Selama puluhan tahun ini, penduduk bumi bisa dikatakan gagal menunjukkan respon terbaik saat menyaksikan pembantaian, pengusiran, dan kebiadaban lainnya yang dipraktekkan secara terang-terangan oleh Israel dan sekutu-sekutu pendukungnya.

Palestina adalah bangsa yang terjajah. Sebagian dari mereka terusir dari tanah air. Mereka yang masih tinggal di negeri mereka pun hidup dalam keadaan sangat mengenaskan. Kemiskinan, kelaparan, dan teror merupakan peristiwa sehari-hari yang harus dihadapi oleh bangsa ini. Dan Al-Quds, tempat suci kaum Muslimin Palestina, diduduki secara semena-mena oleh Israel. Ini adalah fakta yang tidak bisa ditutup-tutupi oleh siapapun.

Negara-negara Arab Muslim yang dari sudut pandang politik internasional memiliki legal standing paling kuat untuk membela Palestina, terlihat lemah dan kehilangan martabat saat dihadapkan kepada isu Palestina. Padahal, secara geopolitik, negara-negara itu paling terdampak dengan krisis Palestina. Jutaan warga Palestina mengungsi ke kawasan mereka, dan menciptakan banyak masalah sosial-ekonomi.

Negara-negara Arab di Timur Tengah juga sebenarnya memiliki posisi paling kuat untuk membela Palestina karena mereka berasal dari etnis yang sama, serta berbahasa yang sama. Ditambah lagi dengan fakta bahwa mayoritas dari mereka memiliki agama yang sama, yaitu Islam; agama yang semestinya mempersatukan semua pengikutnya menjadi satu saudara.

Hanya saja, sudah sejak lama, harapan bangsa Palestina terhadap negara-negara Arab Muslim itu agaknya terlalu berlebihan. Mereka sebenarnya tak bisa diharapkan lagi untuk menjadi pembela Palestina. Negara-negara Arab tersebut sejak lama menyatakan diri sebagai sekutu dekat AS. Sementara itu, para pemimpin AS selalu saja berikrar untuk membela kepentingan Israel. Para pemimpin AS secara terang-terangan selalu menyatakan bahwa kepentingan nasional Israel identik dengan kepentingan nasional AS.

Perlu segera ditambahkan bahwa yang dimaksud dengan “negara-negara Arab” dalam hal ini adalah para pemimpinnya. Kita tahu bahwa ada kesenjangan yang sangat besar antara sikap para pemimpin dengan aspirasi rakyatnya. Ini bisa terjadi karena bentuk negara dari mayoritas negara-negara Arab Muslim adalah monarki, di mana para pemimpinnya tidak peduli dengan aspirasi rakyat yang sebenarnya sangat mendambakan kehormatan dan harga diri sebagai Muslim.

Selama ini, pergelaran solidaritas Al-Quds yang dilaksanakan secara tradisional berupa pergelaran pawai demonstrasi pasti berhadapan dengan represi aparat negara. Kini, ketika peringatan Al-Quds dilakukan secara online, kita mendapati bahwa ide-ide solidaritas itu mampu menyelusup ke ruang-ruang privat seluruh warga Muslim dunia yang terhubung ke internet, tanpa bisa dihalangi oleh aparat keamanan.

Peringatan Al-Quds di tengah pandemi tahun ini betul-betul menciptakan suasana baru yang memberikan harapan. Hitung mundur pembebasan Al-Quds pun semakin berdetak kencang. (os/editorial/liputanislam)

DISKUSI: