Ketika Teologi Bencana Masih Disalahgunakan untuk Kepentingan Politik

0
1156

Otong Sulaeman

LiputanIslam.com –Tahun 2021 diawali dengan serangkaian bencana yang menyesakkan dada bagi bangsa Indonesia. Jatuhnya pesawat Sriwijaya Air, longsor di Sumedang, Jawa Barat, gempa di Sulawesi Barat, serta banjir di Kalimantan Selatan, seakan-akan bertub-tubi menghujam bangsa ini. Padahal, kasus pandemi Covid-19 belum lagi teratasi, malah dilaporkan semakin mengganas. Dan sayangnya, masih saja ada orang yang menjadikan bencana sebagai alat politik. Penyalahgunaan religiusitas bangsa Indonesia kembali terjadi.

Indonesia secara umum bisa disebut sebagai bangsa yang cukup religius. Bangsa ini memang biasanya langsung menghubungkan peristiwa bencana alam dalam kerangka berpikir teologis. Setiap kali terjadi bencana alam, agama sering dibawa-bawa. Untuk setiap bencana yang cukup massif, nama Tuhan disertakan dalam doa dan harapan. Klarifikasi teologis pun dikemukakan.

Teks-teks agama, khususnya agama Islam, memang sangat banyak berbicara tentang hubungan antara perilaku individual manusia dengan turunnya bencana. Ada sejumlah teks agama yang secara jelas menyatakan bahwa bencana muncul sebagai hukuman Tuhan kepada perilaku dosa dan maksiat manusia. Inilah yang terjadi pada ummat-ummat terdahulu seperti kaum Madyan, yaitu kaum Nabi Syu’aib a.s. (Al-A’raf: 91), atau kaum Nabi Nuh a.s. (Al-Ankabut: 14). Model hubungan “dosa-bencana” ini adalah hal yang diterima secara luas oleh kaum Muslimin. Para ulama pun sudah banyak menjelaskan hubungan di antara keduanya.

Hanya saja, harus diingat bahwa sebuah bencana akan menjadi azab manakala di sana terjadi pertarungan antara pihak yang 100% benar melawan pihak yang 100% salah. Pertarungan itu sudah sampai pada titik, di mana tak ada harapan lagi bagi pihak kebenaran untuk mengajak pihak yang salah agar mereka mengikuti jalan kebenaran.  Lalu, karena tidak ada cara lain bagi Allah untuk memenangkan pihak yang benar, diturunkanlah azab kepada kaum pembangkang itu. Itulah yang terjadi pada ummat-ummat terdahulu.

Dari sisi ini, ada minimalnya dua point penting. Pertama, azab turun untuk menyudahi pertarungan yang terjadi antara dua pihak yang benar secara mutlak melawan pihak yang salah secara mutlak. Siapakah dua pihak yang sedang bertarung di Indonesia saat ini? Pemerintah melawan FPI-PKS-HTI? Rasanya tidak demikian. Pertarungan politik di antara kedua kubu (seandainya memang ada “pertarungan”) tidaklah menyiratkan adanya dua pihak di mana yang satu 100% benar dan yang lain 100% salah. Jika FPI-PKS-HTI mengklaim diri sebagai pihak Islam, di pihak pemerintah juga ada “Islam”-nya. Wapres Ma’ruf Amin bahkan mantan Ketua MUI.

Apakah kubu pemerintah adalah pihak yang kotor dan jahat, sedangkan kubu oposisi adalah manusia-manusia yang suci dan sedang berjuang menegakkan ajaran agama yang suci? Apakah kehidupan para pejabat pemerintah itu bergelimang dengan kebejatan, mempertontonkan kekerasan, menyebarkan perzinaan, perjudian, dan pornografi, sedangkan  pihak oposisi (FPI-PKS-HTI) adalah orang-orang yang berpikiran bersih, berkata mulia, dan berperilaku yang benar?

Kemudian, yang kedua, azab turun ketika terjadi dead-lock dalam dakwah. Artinya, sebelum turunnya azab, sudah banyak dilakukan seruan dan upaya untuk mengajak orang-orang jahat itu agar kembali ke jalan yang benar, dan sudah bisa dipastikan bahwa seruan itu sia-sia belaka. Lihatlah Nabi Nuh a.s. Ratusan tahun lamanya beliau berpayah-payah mengajak dan mengingatkan kaumnya. Ketika sudah tak ada lagi harapan, barulah Nabi Nuh a.s. memohon kepada Allah agar kaumnya itu mendapat azab. Jangan pula dilupakan bahwa Nabi Nuh a.s. juga mengingatkan kaumnya akan datangnya azab itu, yang dihubungkan dengan perilaku buruk mereka. Nabi Nuh a.s. bahkan menyebut secara jelas bentuk azabnya, yaitu berupa banjir besar; dan karena itulah ia membuat kapal di tengah gurun sahara.

Tentu dalam kasus bencana bagi bangsa Indonesia, kita tak melihat atau mendengar adanya peringatan dari pihak oposisi tentang akan datangnya azab dengan spesifikasi yang jelas. Maka, ketika ada yang mengatakan bahwa bencana ini adalah azab, rasanya semua itu tak lebih dari klaim tak berdasar alias coccoklogi. (os/editorial/liputanislam)

DISKUSI: