Jika Perang Membesar, Siapa yang Salah?
LiputanIslam.com –Akhirnya, Iran membuktikan kata-kata dan ancamannya untuk melakukan pembalasan atas tewasnya Jenderal Qassem Soleimani. Belasan rudal (sebagian mengatakan puluhan) telah ditembakkan dengan sasaran Pangkalan Militer AS di Ayn Al-Asad, Al-Anbar, Irak. Laporan menyebutkan bahwa serangan itu menewaskan 80 tentara AS, dan melukai 200 orang lainnya. Sejumlah drone dan helikopter milik AS juga dilaporkan hancur akibat serangan tersebut.
The Islamic Revolutionary Guard Corps-IRGC menyatakan diri bertanggung jawab atas serangan itu. Organ militer Iran yang sebelumnya dikomandani oleh Martir Soleimani itu menyatakan bahwa serangan akan dilanjutkan sampai tentara AS keluar sepenuhnya dari Irak. IRGC juga memperingatkan semua sekutu Amerika, yang memberikan pangkalan kepada tentara AS, bahwa setiap wilayah yang merupakan titik awal dari tindakan agresif terhadap Iran akan menjadi sasaran serangan. Kata-kata Iran ini ditujukan kepada sejumlah negara Arab Teluk yang menjadi tempat bercokolnya pangkalan militer AS.
Sementara itu, dari Lebanon, milisi Hezbollah juga bersumpah akan menyerang Israel jika AS melakukan serangan balasan, alih-alih angkat kaki dari Irak. Seperti yang juga dinyatakan oleh IRGC, Hezbollah menganggap AS dan Israel sebagai dua pihak yang tak berbeda. Suara-suara yang sama galaknya juga disampaikan oleh sejumlah milisi sekutu Iran seperti HAMAS dan Jihad Islami di Gaza, Palestina, serta Al-Houthi di Yaman.
Di dalam negeri Iran sendiri, rakyat Iran bisa dikatakan sedang berada dalam puncak solidaritas nasional. Tak ada faksi politik yang berbeda pendapat. Lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif, LSM, ataupun pihak oposisi serempak menyatakan bahwa tindakan AS dalam membunuh jenderal kebanggaan bangsa adalah sebuah penghinaan yang harus dibalas dengan keras. Mereka siap dengan kemungkinan menjalani perang dan krisis berkepanjangan, demi sebuah kehormatan.
Publik dunia pun umumnya bisa memaklumi tindakan Iran yang memang sedang terluka itu. Bahkan pihak-pihak yang selama ini berlawanan dengan Iran kini seperti menahan diri untuk berkomentar. Belum ada komentar berarti yang disampaikan oleh negara-negara Arab Teluk, Israel, atau negara-negara Barat. Pernyataannya masih standar dan disampaikan dengan berhati-hati, yaitu menyeru kedua pihak untuk menahan diri.
Apakah ini bermakna bahwa perang yang besar sudah dimulai? Inilah pertanyaan yang ada dalam benak publik dunia. Banyak pihak yang berharap-harap cemas. Mereka menunggu-nunggu sikap AS atas serangan balasan ini. Karena, memang bolanya ada di tangan AS. Jika AS di bawah Trump bertindak gila dengan memberikan respon berupa serangan balasan ke kawasan Iran, perang besar memang tak bisa dihindari, dan AS harus bersiap-siap menjalani hari-hari perlawanan yang panjang dan berat dalam petualangan militernya di Timur Tengah. Akan tetapi, pilihan lainnya, yaitu menarik pasukan dari Irak (sesuai dengan tuntutan Iran dan sejalan dengan keputusan politik bangsa Irak), juga sebuah pilihan sulit, khususnya bagi Trump yang terbiasa bersikap sombong dan arogan.
Atau, barangkali, kunci penyelesaian masalah ini ada pada rakyat AS. Seperti yang diberitakan, publik AS menunjukkan sentimen negatif terhadap kegilaan Trump itu. Berbeda dengan rakyat Iran yang satu suara mendukung pemerintah, sebagian besar rakyat AS justru tidak setuju dengan tindakan Trump itu. Apalagi, Trump saat ini memang sedang berada dalam proses pemakzulan, setelah DPR AS menyetujuinya. Jika Senat AS bisa mempercepat sidang pemakzulan, penguasa Gedung Putih yang menggantikan Trump barangkali bisa mengeluarkan kebijakan yang sifatnya menganulir segala kegilaan Trump sebelumnya, sehingga ketegangan untuk sementara bisa diredam. (os/editorial/liputanislam)