Mitos Ideologi Pancasila dan Logika Kehidupan Setelah Kematian

0
1896

Oleh: Ammar Fauzi Heryadi

 Tulisan ini merupakan tanggapan atas artikel “Memanjurkan Pancasila” tulisan Yudi Latif, yang dimuat di Kompas (31 Mei 2019)

LiputanIslamSalah satu tantangan klasik Pancasila ialah relasinya dengan agama sebagai tradisi dan spirit kesejarahan bangsa Indonesia. Kegagalan mendudukkan relasi idelologi negara ini dengan agama sama artinya dengan mengabaikan bahkan meniadakan peran salah satunya. Tantangan ini senyatanya berpotensi jadi satu dari sekian ancaman dan kelemahan laten yang, sengaja atau tidak, terabaikan dalam kesadaran ideologis bangsa.

Secara tak langsung, pengurus Aliansi Kebangsaan, Yudi Latief (YL), di Kompas (31/05/19) menyinggung relasi itu dalam upaya “Memanjurkan Pancasila”. Namun, tampak ketajamannya menyoroti relasi Pancasila dan agama pada dimensi tata nilai sebagai fondasi tata kelola dan tata kesejahteraan, sekaligus sebagai basis utama peradaban masa depan Indonesia. “Peradaban suatu bangsa harus tumbuh di atas landasan nilai. Nilai itu cahaya petunjuk yang menerangi jalan menuju tujuan.”

Tepatnya, di subjudul “Pembudayaan Dimensi Ideologi”, YL menuntaskan tanggung jawab “rasional” secara konkret dan realistis di hadapan tuntutan “rasional” publik: bagaimana agar tata nilai ideologi Pancasila diajarkan dan diyakinkan kepada publik? YL segera mengajukan mitos dan fiksi sebagai metode efektif untuk meyakinkan dan membudayakan tata nilai itu dalam relung kesadaran manusia Indonesia.

Relasi, apa pun itu, tidak akan sepenuhnya jernih didudukkan tanpa mengamati dua sisinya yang, dalam hal ini, adalah Pancasila dan agama. Uraian panjang YL lebih terfokus pada Pancasila, sementara agama disinggung intinya kendati hanya sambil lalu.

Esensi agama apa pun tegak di atas dua pilar iman: pada Tuhan dan pada kehidupan setelah kematian. Bagi warga Muslim, dua pilar esensial iman ini diungkapkan Alquran dan hadis dengan narasi “yu’minuna bi-Allahi wa al-yawmi al-akhiri”. Nilai hidup dan perilaku orang beragama diisi dengan keimanannya pada Tuhan Yang Esa dan kehidupan setelah kematian.

Kehidupan setelah kematian (KSK) berarti juga bicara tentang kelanjutan hidup di dunia, tentang nasib akhir manusia dan takdir keabadian setiap orang. Dalam pengertian ini pula singgungan sepintas YL tentang surga dan neraka jadi bermakna. Lalu, bagaimana makna KSK dan surga-neraka ditanamkan sebagai keyakinan pancasilais? YL memilih metode imajinatif, yaitu mitos dan fiksi.

YL secara terus terang menuliskan bahwa keyakinan adanya KSK tidak mengandalkan penjelasan rasional. Ini artinya toleransi agar tata nilai Pancasila dan pembangunan basis utama peradaban Indonesia tidak perlu ditegakkan di atas rasionalitas. Dapat dimengerti bila dalam metode imajinatif terdapat pemberdayaan daya khayal dan kekuatan emotif yang membakukan moralitas dan kepercayaan diri bangsa menjadi diri sendiri dan mampu mengubah hidup.

Metode berpikir “fiksional” yang setahun belakangan populer patut diterima sebagai cara efektif. Hanya saja, metode ini lantas dianjurkan YL sebagai satu-satunya cara untuk meyakinkan dan membudayakan nilai ideologis Pancasila. Penganjurannya tampak radikal hingga mengeliminasi peran akal dan rasionalitas yang justru berdampak kontraproduktif: menentang asumsi dasarnya sendiri yang, karenanya, tulisannya jadi panjang lebar. Kecuali, YL tidak keberatan untuk dikatakan semua uraiannya bagian dari kecakapan berfiksi tanpa mengandalkan rasionalitas.

Ironisnya, semata-mata metode fiksional YL ini malah mereduksi asas-asas dalam sila ke-2 dan sila ke-4. Kemanusiaan, keberadaban, dan hikmat-kebijaksanaan tentu saja bukan hafalan, juga bukan dongeng berdaya pukau atau suluh pembakar semangat, melainkan utamanya mengkristal sebagai keyakinan yang “rasional”, logis, masuk dan menancap kokoh dalam sumsum akal. Rasionalitas adalah bukti standar kemanusiaan, keberadaban, dan kebijaksanaan lazimnya manusia.

Metode berfiksi akan efektif dan kokoh bila juga didukung dan dirawat oleh metode berpikir rasional, sehingga keyakinan bangsa pada nilai-nilai ideologis Pancasila adalah keyakinan manusia yang rasional. Peradaban Barat pun, yang kaya mitologi sebagai bagian dari arus peradabannya, tidak menanggalkan tradisi membangun rasionalitas dengan berbagai sistem filsafat dari nama-nama besar filosof mereka.

Mengandalkan metode berfiksi dan mengabaikan rasionalitas berarti usaha sungguh-sungguh meyakinkan Pancasila sebagai produk imajinatif; mendefinisikan manusia Indonesia hanya sebagai makhluk emosional. Tidak perlu keberatan untuk mengatakan Pancasila adalah ideologi mitos dan fiksi pandangan dunia; peradaban Indonesia dibangun oleh manusia-manusia yang tidak mengandalkan akal budi.

Pemilihan metode berfiksi barangkali dipicu oleh ketergesa-gesaan atau keengganan, semoga bukan kemalasan atau keputusasaan, untuk mendudukkan secara rasional relasi antara agama dan Pancasila, tepatnya posisi KSK dalam Pancasila. Apa hubungan Pancasila dengan kehidupan setelah kematian? Apa kontribusi dan janji Pancasila bagi warga Muslim untuk selamat [dari neraka] dan bahagia [di surga]?

Pertanyaan ini serius, utamanya, jadi basis moral perjuangan demi keadilan dan konsistensi perlawanan terhadap ketidakadilan yang menggejala di tubuh kekuasaan di muka bumi. Setidaknya bagi aktivis Muslim, tidak ada lagi alasan putus asa atau kehilangan semangat hidup di dunia dan di Bumi Pertiwi ini, apalagi sampai mempertanyakan: mana keadilan Tuhan dan apalah arti hidup dengan ketidakadilan dan kemunafikan seperti ini. Dalam logika KSK, hidup di dunia ini adalah ladang usaha dan medan kerja keras. Dari sastrawan Mesir, Ahmad Syauqi, hidup ini hanyalah keyakinan dan perjuangan.

Pertanyaan itu sekaligus relevan dalam menimbang sejauh mana Pancasila mengakomodasi agama. Jika dijawab tidak, Pancasila tidak punya kapasitas menampung ajaran esensial agama sehingga tidak punya kompetensi ideologis sebagai kerangka weltanchauung yang dimaksudkan Soekarno bagi bangsa dengan keunikan tradisi keagamaan dan sejarah perjuangannya. Atau, agama itu sendiri tidak punya potensi dan kapasitas agar bisa terakomodasi dalam kerangka Pancasila, setidaknya agama yang tidak mengakui keandalan akal apalagi melapukkan rasionalitas.

Keyakinan subjektif saya, Pancasila hanya dapat diyakinkan sesuai dengan semangat ruh di dalamnya yang menghormati nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Maka, metode yang ditempuh untuk meyakinkannya sejatinya harus juga berketuhanan dan berkemanusiaan, yaitu menegakkan kekuatan akal dan rasionalitas. Daya inilah yang mempersatukan sesama manusia Indonesia dan anak Adam di dunia. Akal dan imajinasi, fiksi dan rasionalitas, adalah dua sayap yang melambungkan manusia menjangkau kehidupan hakiki. Akal dan imajinasi pula yang memperkaya studi-studi interdisipliner dan multidisipliner atas khazanah Pancasila.

Ketuhanan, keesaan, kemanusiaan, keadilan, keberadaban, persatuan, kerakyatan, kebijaksanaan, permusyawaratan, sosial adalah konsep-konsep abstrak Pancasila yang dapat digali oleh akal. Konsep-konsep itu sejatinya bukan sekedar cita-cita fiksional, emosional, dan imajinatif. Ada hal-hal yang konkret di balik yang abstrak; ada yang zahir di balik yang batin.

Di sinilah peran filsafat sebagai alat pendekat dan pembedah. Filsafat Islam mampu dan, saya percaya, mampu mendudukkan KSK dan surga-neraka dalam Pancasila dalam tiga bidang utamanya:

Teologi: apakah Tuhan itu?

Antroposofi: apakah manusia itu?

Ontologi: apa relasi antara Tuhan dan manusia?

Upaya meyakinkan Pancasila secara manusiawi-rasional melalui tiga bidang Filsafat Islam ini juga dapat ditempuh dengan bidang utama lain dalam Filsafat Islam, yaitu Filsafat Politik, dengan merumuskan duduk persoalannya berikut ini:

Apakah keadilan itu?

Apakah kesejahteraan itu?

Bagaimana relasi antara keadilan dan kesejahteraan?

Apakah sosial itu, dan apakah pula individual itu?

Apakah relasi antara sosial dan individu?

Konsep-konsep apa saja yang menjadi alat, dan konsep mana yang menjadi tujuan?

Merelasikan Pancasila dengan agama berarti menjawab persoalan ini dengan elemen-elemen yang ada di seluruh bagian Pancasila. Untuk mengawalinya, mari kita sadari keinginan fitrah masing-masing: apakah AKU ingin hidup adil ataukah AKU ingin hidup sejahtera? Jika keadilan mengemuka dalam dalam dua sila, di sila manakah kesejahteraan menampilkan wajahnya?

Tentang bagaimana aku hidup bahagia, biarlah hal ini menjadi tahap berikutnya setelah dapat memastikan hidup ini sejahtera dan makmur. Boleh jadi, bahagia segera dianggap utopis hanya karena bahagia tidak berarti sejahtera: orang bisa bahagia merdeka dalam kemelaratan. Arwah juang adalah arwah bahagia dalam derita perjuangan. Batinnya mulia dalam hinanya kekalahan lahiriah.

Dalam munajat terkenalnya, Ali bin Abi Thalib mengungkapkan, “Biarkan aku terhempas dalam neraka, asal ada sisa celah menatap kemuliaan-Mu!”

Entah alat, entah tujuan

Entah surga, entah neraka

Entah adil, entah sejahtera

Untuk merdeka dan bahagia

Hanya Dia, Dialah Yang Mutlak, Cahaya lelangit dan bumi.

[]

*Dosen STFI Sadra, Peneliti ICMES

DISKUSI: