Mengapa Facebook Menyensor Soleimani? Karena Dia Che Guevara Abad 21

0
729

 

Kevin Barrett

Oleh: Dr. Kevin Barret

Qassem Soleimani adalah pemimpin militer abad ke-21 yang paling sukses dan sekaligus seorang tokoh yang sangat spiritual. Sebelum Barat membunuhnya, mereka bahkan tidak ingin publik mengenal namanya. Setelah ia mati syahid, mereka menyadari kesalahan mereka dan berusaha mencegah publik mengetahui lebih dalam siapa dia; seorang Che Guevara di zaman modern.

Barat kemudian melakukan penyensoran besar-besaran, menimpa jutaan orang yang mengunggah teks dan gambar pro-Soleimani di media sosial. Belum pernah ada pembungkaman massal seperti ini. Ratusan juta orang Iran, Irak, Lebanon, Suriah, Yaman, dan lain-lain dari seluruh dunia yang meratapi pejuang anti-teroris terbesar sepanjang masa di dunia ini telah dihancurkan kebebasan berbicaranya melalui sensor yang dipimpin Mark Zuckerberg, atas hasutan sahabatnya, Netanyahu. Zuckerberg adalah pemilik Facebook (dengan 2,2 miliar pengguna di seluruh dunia) dan Instagram (dengan 800 juta pengguna). Meskipun tidak ada cara untuk mengetahui dengan tepat berapa banyak unggahan media sosial yang telah dihapus oleh sensor, perkiraan terbaiknya mencapai puluhan juta. (Kita juga harus menghitung seluruh re-post dan share yang mungkin ada jika unggahan asli tidak dihapus. Dalam hal ini, total unggahan yang disensor dapat mencapai ratusan juta, yang sejauh ini menjadikannya kampanye sensor tunggal terbesar yang pernah ada.)

Bahkan laporan jurnalistik netral tentang Soleimani juga telah disensor. Federasi Jurnalis Internasional melaporkan bahwa “akun surat kabar dan kantor berita Iran kini telah dihapus” (dari Instagram). Hanya dengan mengunggah gambar Soleimani, atau memberi tautan ke akun berita tentang sang Jenderal, dapat membuat Anda terkena sensor.

Halaman Facebook saya sendiri dengan 5.000 teman, yang bertahan dengan baik selama lebih dari satu dekade, kini telah dihapus secara permanen karena saya mengunggah pernyataan dan gambar pro-Soleimani. Demikian juga yang terjadi pada banyak kenalan saya yang berasal dari Amerika, Kanada, dan Eropa. Para pengusaha media Zionis pun telah mengakui bahwa mereka harus mengikuti aturan gila dari Trump tentang siapa yang harus dianggap teroris. Menurut laporan CNN, alasan lemah Facebook menyensor Soleimani adalah “sebagai bagian dari kepatuhannya pada hukum AS.”

Akun Facebook saya (yang telah dihapus permanen itu) menggunakan nama asli saya, dan dikelola langsung oleh saya. Amandemen Pertama [Undang-Undang AS] seharusnya melindungi kita yang berpendapat berbeda dari pemerintah. Pompeo berpikir bahwa Soleimani adalah seorang teroris; sementara saya berpikir dia adalah seorang kontra-teroris. Saya punya hak untuk mengatakannya dan menjelaskan alasannya. Sanksi dari Departemen Keuangan yang dikelola Zionis yang dijatuhkan kepada Soleimani seharusnya tidak menghilangkan hak saya untuk mengekspresikan pandangan yang berbeda.

Penyensoran atas semua unggahan tentang Soleimani memunculkan pertanyaan penting: mengapa miliarder Zionis dan agen “CIA Mockingbird” [operasi propaganda media CIA] sedemikian panik melihat curahan cinta dari seluruh dunia untuk Sang Jenderal yang mati syahid itu? Mengapa mereka mencoba menyembunyikannya dengan meluncurkan kampanye sensor terbesar dalam sejarah dunia? Apa yang mereka tutupi dari Anda?

Jenderal Qassem Soleimani adalah orang yang paling berperan atas kekalahan ISIS. Alih-alih Amerika—yang menciptakan ISIS namun mengklaim berperang melawan ISIS—Jenderal Soleimanilah yang melatih pasukan yang mengalahkan para pembantai itu di Irak. Jenderal Soleimani, bukan Rusia, yang mengilhami dan mengoordinasikan aliansi pasukan darat yang membantu Damaskus mengalahkan tentara bayaran yang ingin menggulingkan pemerintah Suriah.

Jenderal Soleimani juga layak menerima pujian karena membantu Lebanon mengalahkan teroris Israel pada tahun 2006, dan mencegah upaya invasi lebih lanjut sejak saat itu. Axis of Resistance [Poros Perlawanan] Jenderal Soleimani telah membuat Netanyahu gagal dalam proyek Greater Israel-nya [Israel Raya] dan gagal mencuri semua tanah antara Sungai Nil dan Sungai Eufrat. Axis of Resistance Jenderal Soleimani telah menghalangi penaklukan “tujuh negara dalam lima tahun”—sebuah konspirasi komplotan 9/11, seperti yang diungkapkan oleh Jenderal Wesley Clark. Soleimani dan Axis of Resistance-nya telah membantu mengilhami kemenangan Yaman dari upaya penaklukan dan penjajahan Arab Saudi.

Singkatnya, selama masa hidupnya, Jenderal Soleimani meletakkan pondasi bagi kemenangan melawan Axis of Evil [Poros Kejahatan] yang bercokol di Dunia Islam, yaitu aliansi Zionis dan para syekh sekaligus miliarder minyak dari Arab Saudi dan Teluk Persia. Axis of Evil bertanggung jawab atas operasi bendera palsu 9/11 dan perang yang terjadi kemudian, yang telah menewaskan 27 juta orang tak bersalah dan memicu gelombang pengungsi ke Eropa. Axis of Evil Saudi-Zionis bertanggung jawab atas sebagian besar perdagangan manusia di dunia, perbudakan anak, perdagangan organ, dan banyak lagi lainnya. Mereka memainkan peran utama dalam menopang tatanan neoliberal, berdasarkan riba petrodolar, yang secara sistematis memiskinkan sebagian besar populasi dunia sambil menyalurkan hampir semua kekayaan ke segelintir miliarder.

Jadi mengapa Jenderal Soleimani tidak sedemikian dicintai di Barat sebagaimana Che Guevara? Bagaimanapun, sama seperti Anda tidak harus sepenuhnya setuju dengan ideologi komunis Che untuk mengagumi semangat pengorbanan dirinya yang mulia dalam menegakkan keadilan, Anda juga tidak perlu sepenuhnya setuju dengan ideologi Republik Islam dan teologi pembebasan Islam Jenderal Soleimani. Tapi Anda bisa menghargai bahwa, seperti Che, Jenderal Soleimani adalah seorang pejuang yang berhati mulia, yang tahu bahwa ia hampir pasti akan mati syahid oleh kekuatan jahat. Namun, ia tetap memilih jalan itu karena tahu bahwa kesyahidan itu lebih mulia dari semua kematian.

Jenderal Soleimani, seperti Che, berjuang untuk yang lemah, yang tertindas di bumi. Teologi pembebasan Islam mengandung  sebuah kata untuk orang-orang yang tertindas, al mustad’afin, yang diambil dari ayat Al-Qur’an. Islam menyerukan semua Muslim untuk bangkit dan membela kaum yang lemah di hadapan penindasan (dhulm). Itulah sebabnya Jenderal Soleimani, dan Pemimpin Tertinggi Iran, Rahbar Sayyid Ali Khamenei, bangkit untuk menyelamatkan orang-orang Kristen dan Zoroaster Irak dan Suriah dari ISIS. Itu sebabnya mereka bangkit menyelamatkan warga Palestina dari genosida Zionis. Itu sebabnya bersama-sama dengan Hizbullah mereka bangkit untuk menyelamatkan rakyat Lebanon, khususnya orang-orang selatan yang relatif miskin dan tidak berdaya, dari penjajah Zionis. Itulah sebabnya mereka membantu pasukan Ansarullah Yaman dalam perjuangan David-vs-Goliath melawan Arab Saudi. Dan itulah sebabnya mereka menjalin aliansi antara Axis of Resistence di Timur Tengah dan pasukan lain untuk memerangi penindasan di seluruh dunia — termasuk keturunan spiritual Che Guevara di Amerika Latin.

Mengapa Jenderal Soleimani yang lebih besar dari Che dan Malcolm X disatukan, belum meraih nama besar seperti Che, di Barat? Salah satu alasannya adalah dia baru meninggal. Che tidak menjadi icon dalam semalam. Ketika dia dibunuh oleh CIA pada 9 Oktober 1967, Che Guevara sedang dalam perjalanan untuk dilupakan … begitulah yang dipikirkan oleh para pembunuhnya.

“Lima puluh tahun yang lalu, para pejabat AS … menganggap penangkapan dan eksekusi Che Guevara sebagai kemenangan terpenting Amerika Serikat atas Kuba dan militan Amerika Latin yang tersisa selama era intervensi AS dan perang kontra-pemberontakan pada 1960-an.”

Pada tahun 1967, kematian Che diratapi di Kuba, Rusia, dan Cina — meskipun jauh bila dibandingkan bagaimana kematian Jenderal Soleimani diratapi secara sangat luas oleh massa di Iran, Irak, Lebanon, Palestina, Suriah, dan negara-negara mayoritas Muslim lainnya. Di Barat tahun 1967, hanya sedikit penganut komunis yang peduli tentang kematian Che. Media arus utama, meskipun agak kurang terkontrol daripada sekarang, tentu saja tidak berupaya membesar-besarkan kematian Che. Tetapi terlepas dari sensor media arus utama, orang-orang secara bertahap menemukan bahwa Che adalah seorang pahlawan, dan para pembunuhnya, yaitu CIA, adalah bajingan. Situasinya agak sama seperti ketika mereka baru tahu bahwa Jeffrey Epstein tidak bunuh diri.

Meskipun saat ini otoritas media arus utama telah di ambang keruntuhan, “Big Brother” [julukan untuk penguasa besar dunia] tidak menyerah. Saat ini, media arus utama, sebagaimana juga media sosial, sebagian besarnya dimiliki dan dioperasikan oleh Zionis, terus-menerus mengulangi narasi anti-Soleimani. Partai Republik dengan absurd menyebut Soleimani sebagai “teroris” (padahal sebenarnya dia adalah aktivis anti-teroris terbesar abad ini). Sebaliknya, Demokrat selalu berusaha mengulangi pernyataan wajib yang ditulis oleh Zionis, “Dia bukan orang baik, tapi …” Semua ini dirancang untuk mengaburkan evaluasi positif atas Soleimani dan jasa-jasanya yang inspiratif.

Bahkan para aktivis sayap kiri yang selama ini anti-perang dengan Iran tampaknya merasa berkewajiban untuk menghindari mengatakan hal-hal baik tentang Soleimani dan Republik Islam Iran. (Mungkin karena mereka juga, seperti media arus utama, didanai oleh “Zionis halus”?)

Pada 25 Januari, saya menghadiri demonstrasi No War on Iran di Madison, Wisconsin. Penyelenggaranya adalah koalisi kelompok kiri. Meskipun sebagian besar dari mereka mengatakan hal-hal yang relatif waras, setidaknya berbeda dengan narasi arus utama, tidak ada satu pun kata positif tentang Soleimani yang diucapkan dari podium. Seorang pembicara bahkan berkata, “Kami tidak mendukung pemerintah Iran!” Saya segera berteriak memotongnya, “Ya, kami mendukung mereka!” dan saya menerima tanggapan beragam dari kerumunan. (Beberapa panitia cemberut, sementara dua orang mendekati saya sambil berbisik, “Anda benar,” menjelaskan bahwa mereka berasal dari Grup X People’s Front of Judea yang menyadari bahwa pemerintah Iran melindungi rakyatnya dari kapitalisme neoliberal; sedangkan si pembicara adalah anggota Grup Y, Judean People’s Front, pendukung revolusi warna. Saya pun yakin akan berpihak pada People’s Front of Judea daripada Judean People’s Front jika mereka berkelahi di jalan.)

Karena sayap kiri membenci Trump, secara teoritis mereka seharusnya berpihak pada musuh Trump, yaitu Islam Iran (“musuhnya musuh adalah temanku”). Terlebih lagi, Iran adalah negara sosialis paling sukses yang sekubu dengan China. Apalagi yang membuat kaum kiri tidak suka pada Iran? Jawabannya hanya satu kata: agama. Sosialisme Iran, seperti kebijakan luar negerinya yang “melindungi yang lemah, melawan penindas”, dipandu oleh prinsip-prinsip Islam. Terlebih lagi, sistem pemerintahan Iran adalah sebuah teokrasi, setidaknya dalam pengertian yang dijelaskan Peter Simpson. Simpson menjelaskan bahwa teokrasi tidak berarti pemerintahan absolut oleh kelompok agama; sebaliknya, itu hanya merujuk pada sistem politik, seperti hampir semua sistem politik pra-abad ke-19, di mana kekuatan duniawi (raja, oligarki, senator, dll.) diimbangi oleh kekuatan spiritual (gereja, ulama, dll.). Simpson secara persuasif berpendapat bahwa teokrasi adalah sistem yang lebih baik dan cenderung menghasilkan masyarakat yang lebih adil, setara, dan bebas daripada sistem “liberal sekuler” modern, yang pada kenyataannya adalah oligarki tirani yang menyamar.

Republik Islam Iran terdiri dari kekuatan duniawi sekuler (parlemen dan presiden yang dipilih lewat pemilu, pejabat regional dan lokal, militer reguler Iran) dan kekuatan spiritual (Pemimpin Tertinggi dan Dewan Pakar, serta para ulama, Pengawal Revolusi, dan pasukan sukarela Basij). Semua kekuatan ini bekerja bersama, kadang dengan kikuk, kadang dengan harmonis, dalam sistem cek dan perimbangan (checks and balances) yang rumit. Hasil akhirnya adalah masyarakat bebas yang unik, jauh lebih bebas daripada apa pun di Barat saat ini. Yang saya maksud,  jendela ‘Overton Window’ [tingkat penerimaan publik atas suatu kebijakan] di Iran lebih luas, daripada di AS atau negara Barat lainnya. Perdebatan yang akan Anda dengar di Iran, di jalan-jalan, di taksi, di antara para sarjana agama di Qom dan Mashhad, di universitas (di mana banyak anak-anak kelas menengah yang manja tidak tahu betapa beruntungnya mereka), di televisi (di mana talkshow Nader Talebzadeh berkualitas jauh lebih baik daripada talkshow di TV Amerika) dan tentu saja di konferensi New Horizon, dimana semua hadirin sampai pada satu kesimpulan tak terelakkan: intelektual Katolik terkemuka Amerika E. Michael Jones benar ketika ia menyebut Teheran sebagai “ibukota dunia bebas.”

Apakah orang Iran tidak punya satupun hal yang sah untuk dikeluhkan? Tentu: lalu lintas (kemacetan). Sepertinya hampir semua orang di Teheran dapat membeli mobil.  Akibat sanksi paling brutal dalam sejarah, Republik Islam Iran pun belajar membuat mobil sendiri dan menempatkan satelitnya sendiri ke ruang angkasa. Pada kunjungan tahunan saya sejak 2013, saya telah menyaksikan apa yang tampak seperti ekonomi yang sangat kuat — banyak konstruksi, infrastruktur yang mengesankan, mobil pribadi, pusat riset dan sains mutakhir di mana peralatan medis [yang diembargo] dibuat sendiri. Saya juga menyaksikan tanda-tanda lain dari sebuah aktivitas ekonomi yang kuat, yang sebanding dengan booming ekonomi Turki atau Maroko yang sangat dibantu oleh Barat. Iran telah mengalahkan sanksi melalui ekonomi perlawanannya: “daripada membelinya dari Barat, mari kita bangun sendiri.”

Dan kemudian ada industri film Iran. Industri ini beroperasi dengan anggaran yang sangat rendah dibandingkan dengan Hollywood atau bahkan Bollywood, namun memiliki kualitas estetika dan spiritual yang jauh lebih tinggi daripada produk Amerika atau India. Itu sebagian karena masyarakat yang membuat film-film itu tetap manusia, sedangkan hiper-materialis ultra-kapitalis AS (dan masyarakat perkotaan India) memproduksi film-film yang tujuan utamanya adalah menghasilkan uang, dengan menyebarkan ‘kerendahan’, bukan kebajikan. Para pemasok film ‘rendahan’ itu menghabiskan miliaran dolar untuk pornografi, hiper-komersialisme, dan bentuk propaganda destruktif lainnya ke Iran, menargetkan kaum muda dengan harapan menyuntikkan dan menginfeksi mereka dengan nilai-nilai Barat yang dekaden dan merosot.

Di saat yang sama, pasukan pembunuh, MEK (Mujahidin el-Khalq), yaitu kelompok teroris yang didukung Zionis dan AS [para pemimpinnya tinggal di AS dan Eropa] bekerja keras meledakkan masjid-masjid dan pasar di Iran. Data terakhir, hampir 20.000 orang Iran yang tidak bersalah tewas dalam pemboman dan pembantaian yang dilakukan MEK dan jejaringnya.

MEK sangat dibenci di Iran. Sebaliknya, Jenderal Soleimani sangat dicintai publik. Keputusan Trump untuk meresmikan aliansi dengan MEK, sambil membantai Soleimani adalah keputusan yang paling tidak kompeten dan paling tragis dalam sejarah AS. Gema perlawanan meluas keluar Iran. Di Iran, seluruh penduduk berkabung untuk Soleimani dan jauh semakin solid, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kematian Soleimani juga telah menyatukan orang-orang Irak untuk melakukan perlawanan sengit demi mengusir pasukan pendudukan Amerika. Suriah, juga berduka atas Soleimani dan semakin membenci Amerika. Karena semua negara ini (dan simpatisan di tempat lain) memobilisasi kekuatan untuk membalas kematian Soleimani, dengan target pengusiran seluruh orang Amerika dan Zionis dari wilayah tersebut,  Jenderal Qassem Soleimani secara bertahap akan naik ke status Che Guevara abad ke-21 dalam imajinasi global.

Namun pada akhirnya, akan ada satu perbedaan yang sangat signifikan antara warisan Che dan Soleimani. Setidaknya untuk masa mendatang, Che akan tetap menjadi ‘orang kalah yang indah’, sedangkan Jenderal Qassem Soleimani akan menang.

*Sumber: https://www.unz.com/kbarrett/why-big-brother-fears-qassem-soleimani-hes-the-che-guevara-of-the-21st-century/

DISKUSI: