Menakar Kualitas Sang Mufti Ketika Murka

0
502

Oleh: Husein Muhammad Alkaf

husein alkafLiputanIslam.com – Perang pernyataan antara dua ulama besar, Pemimpin Spiritual Republik Islam Iran Ali Khamenei dengan Mufti Besar Kerajaan Arab Saudi Syekh Abdul Aziz Al Syekh, telah menghiasai headline beberapa media dalam dan luar negeri, cetak dan non cetak. Kritikan Ayatullah Khamenei kepada Arab Saudi atas penyelenggaraan ibadah haji dibalas dengan pernyataan keras Al Syeikh yang menyebut Iran sebagai keturunan Majusi. Menyusul dua pernyataan itu, bermunculan sikap pro dan kontra terhadap keduanya.

Yang menarik saya adalalah adanya pergeseran dari isu politik menjadi isu sektarian dan rasis. Dalam surat terbukanya, Pemimpin Spiritual secara khusus menyoroti tragedi Mina yang terjadi pada tahun 2015, sebuah tragedi yang memakan korban ratusan jiwa, termasuk jamaah haji Indonesia. Menurutnya, pihak kerajaan Saudi tidak bertanggung jawab dalam menyelesaikan tragedi tersebut. Keluarga jamaah haji Indonesia yang menjadi korban juga belum mendapatkan dana konpensasi yang dijanjikan oleh dari pihak Kerajaan.

Beranjak dari tragedi Mina itu dan, tentunya, dari masalah-masalah lainnya yang berhubungan dengan urusan haji, Khamenei mengkritik rezim yang berkuasa di Jazirah Arabia itu yang dianggapnya tidak becus dalam menangani urusan haji.

Sebenarnya, kritikan terhadap keluarga Saudi tidak hanya datang dari Ayatullah Khamenei.  Banyak pemimpin dunia dan para ulama dalam berbagai kesempatan melontarkan kritikannya. Syeikh Yusuf Al-Qaradawi, misalnya, beberapa waktu yang lalu mengecam keras Arab Saudi yang menurutnya telah menyerahkan keamanan pengurusan ibadah haji kepada Israel. Qaradawi menyebut penguasa dan ulama Saudi sebagai gerombolan penjahat. (Lihat disini)

Kritikan Khamenei juga hanya terfokus pada pihak penguasa (keluarga Saudi), Amerika, serta PBB. Tidak sedikitpun dalam pernyataannya itu, beliau menyinggung rakyat Arab Saudi Arabia. Coba simak pernyataan beliau di bawah ini.

Ini adalah musibah terbesar dunia Islam di era sekarang ini. Kita lihat bagaimana Keluarga Saudi tak sepatah katapun meminta maaf kepada seluruh korban tragedi Mina, baik kepada korban atau negaranya. Sungguh memalukan. Jika mereka melakukan itu dengan sengaja, maka dunia Islam layak untuk menangis darah. Lebih memalukan lagi, dunia yang mengaku terdepan dalam mengusung  HAM, seakan buta dan diam seribu bahasa terhadap korban tragedi Mina. Lihatlah bagaiman PBB diam seribu bahasa terhadap semua itu.

“Yang harus bertanggung jawab atas tragedi Mina tidak hanya keluarga Saudi, melainkan Amerika Serikat sebagai sekutu mereka. Amerika memiliki andil besar terhadap tragedi itu. Sombong dan sikap acuh mereka adalah bukti kebiadaban  mereka.

“Jika kita melihat kebiadaban mereka di Yaman, Irak, Bahrain dan Suriah, maka tragedi Mina adalah hal remeh bagi mereka. Kita harus mengungkap kebobrokan, kebejatan, kebiadaban Keluarga terlaknat Saudi Arabia. Mereka adalah “syajarah mal’unah”  (pohon terkutuk) yang mulut mereka sudah disumbat uang dan jabatan “.

Keluarga kerajaan Saudi berhak untuk marah dan melakukan pembelaan diri atas kritikan Iran. Namun, harus diingat bahwa cara mengkritik balik juga akan menunjukkan bobot atau kualitas. Balik mengkritik dengan cara mengumbar tuduhan yang tidak logis, rasis, dan sektarian tentulah bukan cara pembelaan diri yang benar. Sayangnya, justru inilah yang dilakukan oleh seorang agamawan sekaliber Mufti Besar Syekh Al Syekh.

Dalam menanggapi kritikan Iran,  Al Syeikh bukannya membuat klarifikasi, atau balik mengkritik Iran dari sisi HAM atau sepak terjang politiknya. Al Syeikh malah mengangkat isu Ahlu Sunnah dan Persia-Majusi.

Harus kita pahami bahwa mereka bukan kaum Muslimin. Mereka adalah keturunan Majusi. Permusuhan mereka terhadap kaum Muslimin, dan secara khusus terhadap Ahlu Sunnah wal Jamaah, adalah masalah klasik.

Ada beberapa kemungkinan dari pernyataan Sang Mufti yang berbunyi tersebut.

  1. Jika yang dimaksud dari “mereka” adalah masyarakat Iran, maka pernyataan ini tidak hanya menyerang orang Iran yang bermazhab Syiah, melainkan juga menyerang mereka yang bermazhab Ahlu Sunnah. Perlu diketahui bahwa terdapat puluhan juta Ahlu Sunnah yang tinggal di Iran.
  2. Jika yang dimaksud dari “mereka” adalah Syiah, maka bagaimana dengan orang Syiah di negara-negara Arab? Apakah mereka bukan Muslimin juga? Data demografis menunjukkan bahwa 15% dari warga Arab Saudi adalah orang-orang Syiah yang tinggal di wilayah Timur Saudi Arabia.

Cibiran  Al Syeikh soal “keturunan Majusi” juga patut dikritisi. Apakah maksud dari pernyataannya ini mengacu kepada fakta sejarah bahwa masyarakat Iran beragama Majusi sebelum mereka masuk Islam? Ataukah menurut Al Syeikh Iran masih beragama Majusi hingga saat ini?

Jika yang dimaksud adalah fakta sejarah sebelum orang Iran masuk Islam, maka tentulah pernyataan itu benar. Tapi jangan lupa bahwa masyarakat Arab sebelum datangnya Islam adalah penyembah patung. Saya kira maksud beliau bukan masyarakat Iran sebelum Islam, karena jika ini yang dimaksud, maka pernyataannya tersebut tidak bermakna apa-apa dalam konstelasi umat beragama dewasa ini.

Akan tetapi, jika yang dimaksud adalah masyarakat Iran dewasa ini, maka Sang Mufti sepertinya tidak bisa membedakan antara Islam dan Majusi sebagai agama. Al Syeikh kiranya perlu menjelaskan dengan data yang lebih gamblang tentang perilaku religius masyarakat Iran dewasa ini yang mengindikasikan bahwa mereka adalah penganut agama Majusi.

Ala kulli hal, Sang Mufti telah murka. Pernyataannya sudah keluar dan tidak bisa ditarik kembali. Umat Islam saya yakin sudah cerdas dan bisa menilai dengan mudah seberapa berbobot kemurkaan Al Syeikh. Tanyalah hatimu (Istafti qalbak). (fa)

DISKUSI: