Etika Sebagai Basis Politik

0
780

Dr. Muhammad Anis*

anisPolitik umumnya dideskripsikan sebagai upaya dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan semata. Tipu muslihat, saling menyikut, dan saling menjegal merupakan kemestian, bahkan kepada teman sendiri. Dalam politik semacam ini tidak ada pertemanan dan musuh abadi, karena yang abadi hanyalah kepentingan. Ini sejalan dengan ungkapan Lord Acton bahwa power tends to corrupt, yang memberi gambaran bagaimana kekuasaan itu cenderung diselewengkan, disalahgunakan, serta dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan golongan tertentu.

Dengan realitas politik semacam itu, membincang etika dalam konteks politik menjadi sangat relevan. Etika dan politik tidak mungkin dipertentangkan satu sama lain. Sebab, keduanya menjadi penentu kebahagiaan hidup umat manusia. Politik, salah satunya, berfungsi memelihara spiritualitas masyarakat, mendorong kepekaan sosial, serta mendidik individu mencintai dan memperhatikan hak orang lain. Semua itu tentu saja merupakan isu moral.

Politik Alat Untuk Melembagakan Nilai Moral
Oleh karena itu, tidak ada pemerintah yang boleh melakukan tindakan imoral dan mengklaim tindakan tersebut sebagai kebutuhan politik serta merupakan bagian dari langkah-langkah politik. Dari perspektif ini, etika dapat dianggap sebagai dasar dan pintu gerbang politik. Sebaliknya, politik dapat menjadi alat untuk merealisasikan dan melembagakan nilai-nilai moral. Seperti itu pula pandangan Plato dan Aristoteles, bahwa tidak ada perbedaan antara etika dan politik. Manusia pada dasarnya adalah warga. Setiap aktifitas masyarakat atau warga memiliki implikasi politik. Warga hanya dapat menyadari potensi mereka melalui aktifitas politik, dan berkat politik sajalah mereka dapat mencapai derajad kemanusiaannya.

Sekaitan dengan Indonesia, sejak berkuasa pada 1967, pemerintahan Orde Baru telah memporak-porandakan kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama melalui korupsi. Korupsi di sini tidak hanya terbatas pada penguasaan sumber daya negara untuk memperkaya diri dan kroni, melainkan pula korupsi dalam bentuk penyalahgunaan wewenang. Jabatan kenegaraan tidak lagi dipandang sebagai amanat, melainkan dijadikan alat hegemoni terhadap rakyat. Mengutip Aldous Huxley, mereka telah menjelma sebagai pedagang politik (political merchandiser). Akibatnya, selama masa Orde Baru, korupsi telah menjadi budaya dan sesuatu yang dimaklumi, bahkan harus dilakukan.

Reformasi 1998, yang meruntuhkan kekuasaan Orde Baru, memberikan angin segar kepada rakyat yang telah lama terabaikan. Namun, peristiwa bersejarah ini kenyataannya tak lebih dari utopia politik. Para tokoh dan penggiat reformasi pada akhirnya justru terjebak dalam perebutan kekuasaan tiada henti dan mendaur ulang kekeliruan Orde Baru, melalui jargon kebebasan semu yang semakin memperburuk kondisi bangsa.

Solidaritas dan perasaan senasib sebagai satu bangsa telah digerus oleh budaya individualistik dan egoistik. Seluruh aktivitas dipahami lebih sebagai persoalan pribadi ketimbang persoalan publik, sehingga berada di luar jangkauan keputusan politik. Akibatnya, ketimpangan ekonomi semakin lebar melalui perlindungan terhadap hak untuk menumpuk kekayaan pribadi secara tak terbatas, tanpa memperhatikan dampak sosialnya. Sehingga, pada gilirannya kesenjangan ekonomi ini justru memangkas hak-hak individu itu sendiri dan menciptakan oligarki (kuasa si kaya atas si miskin) yang semakin parah.

Penegasian Etika
Politik tanpa ketulusan semacam ini dan segala bentuk irasionalitas politik lainnya jelas merupakan wujud penegasian etika. Politik tidak semestinya disamakan dengan kepentingan kelompok tertentu, dan ruang publik pun tidak semestnya direduksi menjadi pasar. Politik semacam ini hanya akan melahirkan pemerintahan yang pincang, karena orientasinya hanya kepada kelompok dan mengabaikan kompetensi, yang bisa berdampak menjerumuskan bangsa dalam krisis multidimensi.

Immanuel Kant, dalam filsafat politiknya, secara apik mengungkapkan bahwa para elit politik dan pejabat hendaknya bersikap sebagai politikus moralis, bukan moralis politis. Politikus moralis adalah politikus yang setiap sepak terjang politiknya berada dalam bingkai moral. Sedangkan, moralis politis adalah politikus yang selalu mencari-cari pembenaran moral untuk disesuaikan dengan kepentingan politiknya.

Sayangnya, negeri ini masih disesaki oleh para moralis politis atau bahkan imoralis politis yang tampak bangga dengan perilaku korupnya. Hal ini terlihat pada politisasi birokrasi yang sudah sedemikian kronis dan akut. Birokrasi yang semestinya profesional dan akuntabel telah dirusak oleh infiltrasi tangan-tangan politisi. Ini menjadikan praktik korupsi semakin marak, dari pusat sampai daerah. Birokrasi diperlakukan para politisi dan parpol tak ubahnya mesin ATM yang siap menggelontorkan uang sewaktu-waktu. Parpol pun telah menjelma menjadi kartel politik. Kompetisi sengit dan ideal, dengan jargon masing-masing, hanya terjadi saat pemilu. Namun, ketika para kadernya telah menduduki lembaga-lembaga penting negara, kompetisi itu seketika hilang dan berubah menjadi kerja sama dalam korupsi.

Selain itu, kenaikan harga BBM berkali-kali dengan dalih mengefisienkan APBN sejatinya hanya untuk memenuhi resep beracun IMF dalam meliberalisasi ekonomi, dengan menafikan efek dominonya dalam bentuk inflasi yang mencekik. Demikian halnya jaminan sosial, yang oleh pemerintah cenderung diserahkan ke pihak swasta, sehingga mereka yang mampu membayar premi saja yang bisa memperoleh jaminan sosial. Lagi-lagi rakyat kecil hanya bisa gigit jari melihat disparitas sosial yang semakin menganga. Ibarat pesawat, pilot negeri ini telah menerbangkan pesawat yang salah. Penumpangnya bukan rakyat, melainkan para investor asing dan kalangan kapitalis lainnya. Bahkan terkadang cenderung auto-pilot, karena banyak persoalan publik yang diserahkan pemecahannya kepada masyarakat sendiri. Pemerintah lebih memilih duduk manis sembari mengalkulasi perolehan suara.

Teladan Ali
Padahal sejarah telah mengajarkan bagaimana besarnya tanggung jawab seorang pemimpin, sebagai pemegang amanat rakyat yang pada dasarnya juga amanat Tuhan. Saat menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib pernah didatangi oleh saudara kandungnya, Aqil, yang memohon kepadanya agar diberi sedikit uang dari baitul mal (kas negara) demi memenuhi kebutuhan hidupnya dikarenakan keuangannya yang sedang bermasalah. Mendengar itu, Ali segera mengambil sepotong besi membara dan mendekatkannya ke tangan Aqil. Seketika Aqil berteriak kesakitan disebabkan hawa panas dari besi tersebut dan segera menarik tangannya. Ali kemudian berkata, “Baru dengan hawa panas sepotong besi membara saja kau sudah kesakitan, bagaimana mungkin kau berani memerintahkanku untuk masuk ke dalam neraka dengan memberimu uang negara.”

Dengan demikian, etika dalam konteks politik sejatinya bertujuan untuk meluruskan arah politik, dalam rangka meraih kebaikan hidup bersama, melalui terbangunnya institusi-institusi yang adil. Dengan kata lain, segala bentuk irasionalitas politik bangsa hanya dapat dikembalikan menjadi rasional dan penuh ketulusan, bila etika dijadikan sebagai basis pijakan politik.(liputanislam.com)

*Penulis adalah doktor di bidang politik Islam; dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

DISKUSI: