Banjir Jakarta, Bukan Bencana Alam
Oleh: Firdaus Cahyadi*
Jakarta kembali terendam banjir, seperti tahun-tahun sebelumnya. Hampir setiap musim penghujan kota ini kebanjiran, meskipun sebagian pejabat mengaluskan kata banjir dengan sekedar genangan air. Dan itu sudah terjadi hampir sejak 29 tahun silam.
“Sudah sejak tahun 1985 saya tinggal di kawasan Kampung Melayu, saya sudah terbiasa kebenjiran di sini,” ujar seorang ibu yang disiarkan oleh salah satu televisi swasta di Jakarta pada awal tahun 2014 ini. Apa makna dari pernyataan ibu korban banjir tersebut? Maknanya adalah selama 29 tahun tidak ada perubahan meskipun jabatan Gubernur DKI Jakarta sudah berkali-kali berganti orang. Seharusnya dalam kurun waktu 29 tahun sudah ada perubahan yang mendasar dari model pembangunan sehingga tidak setiap tahun warga kota terus kebanjiran.
Perubahan model pembangunan mempersyaratkan adanya perubahan paradigma dari pembangunan kota ini. Selama belum ada perubahan paradigma pembangunan, selama itu pula model pembangunan kota Jakarta tidak berubah. Dan itu artinya, kota ini akan terus kebanjiran pada saat musim penghujan.
Seperti ada kekuatan besar yang tidak terlihat yang membuat siapa pun Gubernur DKI Jakarta selalu meyakini paradigma pembangunan yang menempatkan Jakarta sebagai kota dengan multifungsi. Selain sebagai Ibukota negara, Jakarta juga memiliki fungsi sebagai kota jasa dan perdagangan.
Konsekuensi dari paradigma multifungsi kota itu adalah Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk selalu memfasilitasi pertumbuhan kawasan komersial di kota ini. Dari sinilah titik tolak dari alih fungsi yang ugal-ugalan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan daerah resapan air di Jakarta menjadi kawasan komersial.
Menurut pakar tata ruang Marco Kusumawijaya, seperti ditulis di Majalah TEMPO Edisi. 35/XXXVI/22 – 28 Oktober 2007 silam, target luasan RTH dalam tata ruang Jakarta terus dikurangi, dari 37,2 persen dalam Rencana Induk 1965-1985 hingga 13,94 persen dalam RTRW 2000-2010. Sedangkan tambahan pasokan ruang komersial begitu hebatnya, 3.046.000 meter persegi pada 2000-2006, sedangkan pada 1960-1999 hanya 1.454.000 meter persegi
Dampaknya, kota ini menderita penyakit obesitas. Seperti layaknya manusia yang mengalami penyakit obesitas, berbagai penyakit pun menghinggapi. Banjir tahunan, kemacetan lalu lintas, polusi udara dan persoalan sampah adalah penyakit yang menghinggapi kota Jakarta akibat obesitas yang dideritanya.
Data dari Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLHD) Jakarta setelah banjir melanda kota ini pada tahun 2007 mengungkapkan setiap hujan turun di Jakarta, hanya sekitar 26 persen air yang bisa diserap oleh tanah di kota ini. Sementara sebesar 70-an persen lainnya menjadi air larian (run off) yang masuk ke sistem drainase kota untuk kemudian dialirkan ke sungai dan laut. Celakanya, system drainase kota juga dalam keadaan buruk sehingga banjir menjadi sebuah keniscayaan di Jakarta setiap kali musim hujan tiba.
Bahkan meskipun lahan di Jakarta terbatas, pembangunan kawasan komersial pun disiasati dengan melakukan reklamasi pantai utara Jakarta. Dan Jakarta pun terus menjadi daya tarik orang dari penjuru nusantara untuk mencari kehidupan yang layak.
Reklamasi Pantai Utara Jakarta adalah sebuah solusi kamuflase dari persoalan di Jakarta. Seperti orang penderita obesitas yang memilih menyembunyikan penyakitnya dengan cara mengenakan baju dengan ukuran lebih besar dari ukuran badannya. Bukan justru melakukan diet.
Meningkatnya daya tarik Jakarta diikuti dengan melambungnya harga tanah di kota ini. Sehingga para pendatang dari berbagai penjuru nusantara itu pun melirik untuk tinggal di kawasan di Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek). Di daerah Bogor yang merupakan hulu sungai yang mengalir di Jakarta mengalami peningkatan permintaan kawasan perumahan dan penunjangnya, seperti mall dan kawasan komersial lainnya. Akibatnya, terjadilah alih fungsi besar-besaran daerah yang semula adalah resapan air menjadi kawasan perumahan dan komerisal lainnya.
Hilangnya daerah resapan air juga melanda kawasan Puncak, Bogor. Kini di kawasan Puncak, Bogor daerah yang harusnya berfungsi sebagai daerah resapan air berubah menjadi vila-vila dan tempat rekreasi lainnya. Ironisnya, sebagian pemilik vila-vila di Puncak, Bogor adalah juga orang-orang kaya Jakarta.
Sementara di Jakarta sendiri, para pendatang dengan penghasilan pas-pasan tidak mampu membeli tanah dan rumah di Bodetabek. Mereka memilih untuk menempati secara illegal kawasan yang semula adalah daerah resapan air, seperti RTH dan waduk. Akibatnya, kawasan resapan air di Jakarta terganggu. Selain itu, mereka juga menempati secara illegal bantaran-bantaran sungai yang menyebabkan pendangkalan dan penyempitan badan sungai.
Multifungsi kota Jakarta telah mendorong kerusakan ekologi dari hilir hingga hulu ini adalah perpaduan sempurna yang menyebabkan banjir di Jakarta. Hal itu juga diperkuat oleh Kepala Bidang Peringatan Dini Cuaca Ekstrem Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Achmad Zukri. Seperti ditulis di website Tempo.co, Achmad Zukri mengatakan, penyebab banjir di Jakarta tahun ini bukan karena faktor alam. Hal itu disebabkan karena curah hujan di kawasan Ibu Kota pada 2014 lebih rendah dibanding 2013 ketika terjadi banjir lebih besar.
Banjir Jakarta jelas bukan bencana alam, tapi kesalahan manusia. Lantas apa yang bisa dilakukan untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut? Pertama, paradigma pembangunan multifungsi kota Jakarta harus dirubah. Jakarta sudah kelebihan beban. Jakarta harus memilih menjadi Ibukota negara atau pusat bisnis saja, tidak boleh kedua-duanya.
Kedua, pemerintah Jakarta dan pusat harus membuat kebijakan insentif bagi mereka di daerah hulu (Bogor) dan hilir (Jakarta) yang menjaga kelestarian kawasan resapan airnya. Sebaliknya kebijakan disinsentif pun harus ditegakan bagi mereka yang merusak daerah resapan air dan juga sistem drainase.
Kedua langkah tersebut setidaknya bisa menjadi pijakan untuk menghentikan ritual banjir Jakarta. Sudah cukup lama Jakarta mengulangi kesalahan yang sama setiap tahunnya. Bagaimanapun juga keselamatan warga kota lebih penting daripada sekedar angka-angka semu terkait dengan pertumbuhan ekonomi Jakarta.
*Firdaus Cahyadi adalah Pengamat Lingkungan, Knowledge Manager for Sustainable Development, OneWorld-Indonesia