Ahok dan Kemajemukan Bangsa
Kemungkinan naiknya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi orang nomor satu DKI menggantikan Jokowi, mengundang reaksi beberapa ormas Islam. Salah satu ormas bahkan menyebar dan memasang spanduk yang menyuarakan penolakan terhadap Ahok: Tolak Ahok, Harga Mati! Saat ditanyai alasan penolakannya, wakil dari ormas tersebut menyebut ‘bukan Islam’ sebagai alasan utama.
Fenomena ini membuat banyak orang miris. Indonesia adalah negara hukum. Secara hukum, ketika kepala daerah mengundurkan diri, maka wakil kepala daerah yang mengisi kekosongan itu. Artinya, berdasarkan konstitusi adalah sah bila Gubernur Jakarta adalah Ahok ketika Jokowi resmi mengundurkan diri. Lalu, mengapa isu SARA dijadikan alasan penolakan terhadap Ahok?
Isu SARA tampaknya cara yang paling sering dipakai untuk menjegal lawan dalam pemilu di Indonesia. Pilpres 2014 sepertinya adalah puncaknya, ketika isu SARA benar-benar digunakan secara masif dan masih menyisakan luka hingga hari ini. Pilkada DKI 2012 pun tak lepas dari hal itu. Ketika bersama Jokowi maju sebagai pasangan cagub dan wagub dengan didukung PDIP dan Gerindra, Ahok sudah membuat sebagian kalangan jengah. Lantaran, latar belakang etnisnya yang Tionghoa dan agamanya yang Kristen Protestan. Maklum, etnis dan agama yang menempel pada Ahok dalam peta perpolitikan di negeri ini dianggap sebagai kartu mati atau kendala.
Ketika mewawancarai Ahok dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR pada awal 2011, dan wawancara ini disiarkan live di 104,7 Sindo Trijaya Surabaya FM, penulis mendapat kesan, Ahok sebagai pribadi yang luas, tegas, jujur dan transparan serta punya niat tulus hendak memberikan kontribusi positif guna mengharumkan nama bangsa. Dia juga sangat toleran dan menghargai Islam dan agama-agama lain. Sepak terjangnya selama ini memperlihatkan bahwa kesan yang saya tangkap itu tidak meleset.
Apa yang dikerjakan oleh Ahok sejak jadi Wagub DKI sejauh ini memperlihatkan bahwa ia tidak tersandera oleh etnis atau agamanya. Malah dia bisa melampaui semua ini, seperti terbukti dari gajinya yang disihkan untuk sekedah, infaq dan zakat bagi mereka yang tidak mampu. Ahok juga berkali-kali membuat ‘gebrakan’ yang mendatangkan simpati. Ia memotong jalur birokrasi dengan menyediakan layanan SMS sehingga warga bisa langsung mengadukan berbagai persoalan kepadanya. Dan seperti diberitakan media, ada beberapa momen istimewa yang terjadi berkat SMS ini. Misalnya, ada warga yang mengirim SMS kepada Ahok, jalan depan rumahnya belum pernah diaspal pemda gara-gara jalan itu buntu. Segera, pengaduan itu ditanggapi dengan pengaspalan jalan.
Dalam negara dengan prinsip demokrasi, sebenarnya pertimbangan untuk menjadi pemimpin tak boleh lagi mengacu pada faktor primodial seperti etnis, ras, dan agama. Kita bisa berkaca pada keberhasilan Faruk Choudhury, muslim yang terpilih menjadi walikota Bristol, Inggris (yang mayoritasnya nonmuslim) pada 2013. Atau, terpilihnya Abdul Kalam sebagai presiden ke-11 India (25 Juli 2002-25 Juli 2007). Padahal kita tahu India mayoritas Hindu. Dalam negara demokrasi dan majemuk, seharusnya kapabilitaslah yang jadi pertimbangan utama.
Lagi pula pada era keemasan Islam pun, kalangan non muslim juga biasa dirangkul oleh penguasa muslim yang arif. Goenawan Mohamad dalam capingnya “Baghdad” berkisah bagaimana kafilah Al Makmun menyuruh Hunain bin Ishaq, seorang tabib Kristen untuk mengkoordinasi proyek penterjemahan risalah-risalah dari bahasa Aram, Pahlavi dan Yunani ke dalam bahasa Arab (Tempo 17 Februari 2003).
Akhmad Sahal, pengurus NU Amerika-Kanada dalam sebuah tulisannya menelaah pemikiran ahli tafsir terkemuka, Rashid Rida. Menurutnya, ayat-ayat pengharaman aliansi dengan non-muslim dan meminta proteksi dari non muslim sejatinya hanyalah berlaku untuk non muslim yang nyata-nyata memerangi kaum muslim. Aliansi yang dilarang juga yang nyata-nyata merugikan kepentingan umat Islam (Tafsir Al Manar, Vol.3, 277). Ia pun menyimpulkan bahwa wacana pengharaman pemimpin non-muslim berbahaya karena membawa kita berkubang dalam isu SARA yang berpotensi memecah-belah Indonesia. Yang tak kalah problematis, wacana tersebut ternyata tidak punya pijakan yang kokoh dari kacamata Islam itu sendiri, karena pedomannya adalah terjemahan ayat secara tidak akurat, penafsiran yang sempit, dan penerapan yang salah alamat (Tempo, 16 Agustus 2012).
Ahok dipilih melalui pemilu langsung. Meski Ahok digoyang kampanye hitam bernuansa SARA dalam Pilkada 2012, 53,82% masyarakat Jakarta memilih Jokowi-Ahok. Sebelumnya, warga Belitung Timur yang mayoritas muslim memilih Ahok sebagai bupati mereka yang ketiga, untuk periode 2005-2006. Ahok-lah etnis Tionghoa pertama yang menjadi bupati di Beltim.
Artinya, masih cukup banyak rakyat Indonesia yang tidak menjadikan SARA sebagai landasan memilih. Ini adalah bukti bahwa yang didambakan masyarakat adalah pemimpin yang benar-benar bekerja untuk rakyat. Nurani rakyat bisa melihat, mana pemimpin yang akan bekerja demi kepentingan orang banyak, melampaui kepentingan etnis dan agamanya sendiri. Fenomena ini cukup melegakan kita.
Namun, jalan masih panjang. Bangsa ini masih akan terus diuji, bagaimana kita menghargai kemajemukan bangsa. Dan Ahok, tampaknya, adalah salah satu ujian tersebut. Semoga bangsa Indonesia semakin menyadari bahwa kemajemukan merupakan modal yang bisa memperkaya kita. Sebaliknya, penolakan atas kemajemukan akan mengancam persatuan dan kesatuan negeri ini.
*kolumnis, aktivis Lintas Agama dan Etnis, tinggal di Surabaya