Suami Terbaik dari Allah
liputanislam.com — Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Saya tak ingat betul, sejak kapan saya begitu perhatian dengannya, seorang pria lembut, mengagumkan dan telah membuat hatiku jatuh cinta. Yang masih saya ingat, ia adalah kakak kelasku ketika masih menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya, Jawa Timur. Yang jelas, tak seperti layaknya Anak Baru Gede (ABG), perjalanan perkenalan kami tak berlama-lama. Kami segera menikah usai lulus sarjana. Selain itu, perlu dimaklumi, saya setiap hari memamai jilbab, jadi alangkah tak pantasnya jika menjalin hubungan dekat dalam waktu lama tanpa ada ikatan yang halal.
Alkisah, perjalanan kisah asmara kami berjalan baik hingga ke pelaminan. Sungguh wanita mana yang tidak bahagia menerima saat-saat seperti ini? Menikah dengan seorang pria idaman, pasti adalah mimpi tiap wanita yang sehat akalnya. Sayang, harapan tak semulus dengan kenyataan. Dalam perjalanan biduk rumah tangga, tabiat buruk suamiku mulai muncul satu-persatu. Tabiat paling utama adalah melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Entah, kapan taibat buruk itu bermula. Yang jelas, usai pernikahan beberapa bulan, ia tiba-tiba sering melayangkan bogem nya ke bagian-bagian tubuhku jika dia sedang marah atau merasa kurang sesuai dengan keinginannya. “Kamu istri macam apa? plak!” demikian sambil kepalan tangannya itu mendarat di pelipis saya.
Duh, rasahnya pedih dan sakit. Tak hanya sakit fisik, tapi sakit dari relung hatiku paling jauh. Ah, tapi mungkin itu memang karena kesalahanku sebagai seorang istri yang teledor, begitu perasaan hati agar bisa ridho menerima perlakukan ini. Hari demi hari, mulai kuperbaiki perjalanan rumah tanggaku, semata agar kehidupan lebih baik dan aku bisa menjadi istri yang sholehah. Itu saja. “Pyarr!” Tiba-tiba piring, gelas dan barang-barang melayang. Tak hanya itu, kali ini bukan lagi bogem yang menghampiriku. Pria yang pernah kukagumi dan aku kenal sendiri di kampus, bukan melalui orang lain, kali ini menjambak rambutku dan menyeret ke kamar mandi. Di sana ia mendorong kepalaku ke dalam baik air. Setelah lama, ia mengangkat kepalaku dan menenggelamkan lagi. Rasanya bingung, sedih, sakit, kecewa, semuanya campur jadi satu. “Ya Allah ya Rabbi, syetan apa yang membuat suamiku seganas ini pada istrinya?”
Begitulah kehidupan rumah tanggaku. Di depan orang kami nampak baik, di dalam rumah, ia seolah memperlakukan aku layaknya tahanan Guantanamo Bay, penjara kejam yang dibangun Amerika Serikat (AS) untuk memperlakukan saudara-saudara Muslim pasca 11 September. Kekerasan dan siksaan (sudah tak bisa dihitung dan tak bisa saya jelaskan di sini) berjalan hingga kelahiran anak kami yang pertama. Karena sudah tidak tahan dengan perlakuan kasarnya, singkat cerita, pasca usia anak kami berjalan beberapa tahun, hubungan kami tak bisa dipertahankan dan berakhi dengan perceraian. Alhamdulillah, Allah telah menyelamatkanku dari “neraka kecil” itu.
Barakah Pesantren
Sembari masih membawa status “janda”, saya mencoba melamar berbagai tempat. Semua telah kucoba dan selalu hasilnya nihil. Maklum, bidang yang kugeluti termasuk kurang umum, yakni bidang seni. Suatu hari, aku mendapatkan informasi sebuah lembaga pendidikan di bawah naungan sebuah pesantren di Surabaya. Dengan bismillah, kucoba melamar sebagai tenaga pendidik bidang kesenian. Rupanya, lamaranku di terima. Betapa senangnya. Pertama, aku gembira karena bisa mengamalkan ilmu, kedua, gembira bekerja di bawah lembaga yang memiliki akar kuat dalam urusan agama. Maklum, meski menutup aurat, aku wanita biasa-biasa saja, seorang dari kampung yang semenjak kecil kurang banyak dididik ilmu agama.
Benar saja, beberapa tahun bergabung dengan lembaga ini, tiap hari dan tiap saat, rasanya ilmu agamaku bertambah. Subhanallah, Maha Suci Engkau ya Allah! Sementara aku sibuk menjadi pendidik di Surabaya, anakku kutitipkan pada neneknya di kampung. Tiap saat, usai gajian, aku pulang mengunjungi anak dan mengirim keperluan. Begitu perjalannku beberapa tahun.Dan tak terasa, sudah sekian lama kehidupan ini kujalani. Kira-kira hingga anakku masuk SMP. Lama menjalani hidup sebagai janda rupanya tak mengganggu pikiranku. Sebab, setiap kali berfikir soal jodoh atau pria, selalu teringat dalam pikiran kekejaman mantan suamiku, yang tak lain adalah pria pilihanku sendiri. Karena itu, tiap terpikir soal pria, secepat itu pula pikiran itu lewat begitu saja. Hmmm rasanya, berat untuk menikah lagi. Bagaimana jika yang kuhadapi pria yang sama seperti kemarin? Di depan ia lembut, di belakang dia seperti algojo. Duh, ngeri!