Perempuan di Televisi
liputanislam.com– “Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang !
Ikutlah-serta-mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik..”
– Sarinah, Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia, IR. Soekarno-
Emansipasi yang didengung-dengungkan di seluruh penjuru dunia, ternyata belum mampu mengangkat martabat perempuan. Tuntutan kaum perempuan untuk disejajarkan dengan kaum laki-laki terkadang kebablasan, dengan menuntut persamaan hak disegala hal. Hak-hak yang dimiliki perempuan merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia, tapi sayang hak-hak tersebut sering dilanggar, bukan saja secara total pelanggaran hak perempuan hasil kerja laki-laki tetapi tidak sedikit kaum perempuan yang justru ambil andil penyebab terjadinya pelanggaran hak tersebut. Tulisan berikut secara khusus menyorot segmen acara televisi yang menampilkan pelecehan terhadap perempuan dalam berbagai latar kehidupan.
Perempuan dan Televisi
Media massa berperan besar dalam menambah kuantitas dan kualitas bentuk pelecehan terhadap perempuan. Setiap hari masyarakat disuguhi berbagai bentuk pelanggaran hak-hak perempuan dalam majalah dan berbagai bentuk media cetak lainnya serta media elektronik. Kita sering menyaksikan tubuh-tubuh indah perempuan dipajang di sampul sebuah majalah atau tabloid dengan pakaian yang minim yang berfokus pada pengumbaran aurat.
Sebuah koran, majalah, tabloid dan berita-berita di media elektronik terkesan nyata menjadikan berita atau cerita tentang kekerasan yang dilakukan laki-laki kepada perempuan sebagai sajian yang diharap dapat menaikkan tiras penjualan dengan penggambaran berita yang terkadang vulgar dan menyentuh hal-hal privacy dari korban yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk dipublikasikan. Hal itu dilakukan untuk menarik perhatian calon pembeli, bahkan tidak peduli lagi judul yang dibuat dalam pemberitaan melecehkan perempuan atau tidak.
Pada media elektronik, khususnya televisi, perempuan tidak luput dari pelecehan dengan berbagai bentuk. Film dan sinetron yang ditampilkan sering mengangkat tema penderitaan seorang perempuan yang tontonan tersebut menjadi hiburan bagi pemirsa. Lewat iklan yang ditampilkan kedudukan perempuan tetaplah sama dengan perempuan zaman baheula, yakni tetap dijadikan sebagai ‘hiasan’ penarik laba. Perempuan dieksploitasi sedemikian rupa untuk meraih keuntungan bisnis. Tidak perlu lagi mencari keterkaitan merk sebuah rokok dengan rok yang tersingkap, yang jelas ada gambar perempuan cantik, produk itu pasti menarik.
Tidak peduli produk apapun yang diiklankan baik mie instan, oli kendaraan, sabun cuci, rokok, minyak rem, pompa air bahkan sampai minuman suplemen khusus pria, hampir semuanya menjadikan perempuan cantik sebagai figur sentral.
Perempuan yang sering ditokohkan dalam sinetron maupun film tidak jauh-jauh dari kehidupan perempuan yang lemah dan teraniaya. Ini bisa kita lihat dalam sinetron Tersanjung yang sampai merasa perlu untuk dibuat berseri-seri. Indah sejak –maaf- berzina dengan Bobby yang kemudian menyebabkan kehamilan ditampilkan sebagai perempuan miskin yang dianggap pembawa sial dan menjebak Bobby untuk kemudian mengincar hartanya.
Sejak saat itu kehidupan Indah begitu pilu, menyedihkan dan selalu dirundung duka. Begitupun pada Doa’ku Harapanku, Aisyah (diperankan Krisdayanti) dianggap terlalu bercita-cita tinggi untuk mendapatkan pemuda tampan dan kaya, padahal dia hanyalah seorang perempuan cacat, yatim dan miskin. Dan keteraniyaan perempuan-perempuan tersebut dijadikan sebagai komoditas yang menghasilkan profit yang tidak sedikit dengan duduknya sinetron semacam itu pada rating tertinggi. .
Di sinetron lain, perempuan yang ditampilkan pada sosok ibu sering menyuruh anaknya untuk menikah dengan pemuda konglomerat agar kelak mendapat harta yang melimpah. Perempuan sering ditampilkan materialistis, entah itu sebagai mertua, ibu, istri maupun gadis remaja yang begitu berambisi mengejar warisan. Di beberapa sinetron remaja, perempuanlah yang berebutan untuk mendapatkan cinta dan perhatian laki-laki, meski harus mengorbankan persahabatan bahkan rela hubungan dengan orangtua retak seribu.
Di Bajaj Bajuri lebih ironis lagi, terlebih jika mengingat sinetron ini sampai saat ini tetap berada pada rating tertinggi favorit pemirsa. Oneng dikesankan sebagai perempuan lugu dan bodoh bahkan sering dipanggil ’oon’ (bloon) oleh suaminya. Emak, mertua Bajuri digambarkan sebagai perempuan yang otoriter dan sering sinis terhadap menantunya sendiri hanya karena Bajuri berprofesi sebagai supir bajaj. Belum lagi, ibu-ibu tetangga Bajuri, Mpok Indung misalnya, ditampilkan sebagai istri ’gatal’ karena keseringan ditinggal kerja oleh suami, dikesankan begitu bernafsu katika melihat laki-laki. Dan kesemua sosok perempuan yang ditampilkan menjadi sumber hiburan yang mengundang gelak tawa penonton. Ironis memang…
Merindukan Sartika
Masih ingat tidak dengan sinetron Losmen dan Sartika yang dulu pernah jaya di TVRI. Sinetron yang skenarionya digarap Tatiek Maliyati ini mengindikasikan adanya gambaran serba positif sosok-sosok perempuan. Dalam Losmen, setidaknya ada tiga ssosok perempuan yang digambarkan begitu tegas dan mandiri. Para perempuan itu adalah Deborah, Jeng Sri dan Mbak Pur. Deborah misalnya, yang kemudian dikenal sebagai Bu Broto, setelah suaminya tak lagi bekerja karena pensiun.
Dialah yang kemudian mengambil alih kendali keuangan rumah tangga. Dia mengelolah sebuah losmen yang kemudian sukses. Meskipun demikian, tidak serta merta Bu Broto merasa hebat dan menyisihkan suaminya. Jeng Sri pun demikian, meski berkali-kali dikibuli suaminya tak membuat ia sampai putus asa dan meratapi nasibnya. Dia bahkan bangkit menjadi tiang penyangga perekonomian keluarganya dengan menjadi penyanyi rekaman. Lain lagi dengan Mbak Pur, kakak Jeng Sri.
Problem paling utama yang dihadapi adalah citra sebagai perawan tua. Meski berkali-kali dibohongi laki-laki yang bermaksud menyuntingnya, dia tidak lantas merutuki nasibnya. Dia malah bersyukur tidak jadi menikah dengan laki-laki yang mentalnya tidak terpuji. Ada kesan Mbak Pur memprolakamasikan diri bahwa menjadi perawan tua bukanlah sebuah aib.
Begtupun dalam seri Sartika, yang menempatkan sosok perempuan dokter, bersuami dokter pula, yang dalam banyak hal dokter Sartika menunjukkan sifat yang lebih dewasa dan matang dibandingkan suaminya yang terkesan pencemburu, labil dan kurang mandiri. Kedua sinetron yang nyaris menjadi legenda ini mestinya menjadi referensi dan rujukan sintron masa kini.
Losmen dan Sartika mengambarkan keserasian kehidupan rumah tangga, karena masing-masing pihak sama-sama saling menghormati kelebihan dan kekurangan masing-masing; kelebihan suami dan kelebihan istri. Coba bandingkan ’penampakan’ istri di beberapa sinetron yang marak di TV saat ini. Bukankah yang ditampilkan adalah istri-istri yang menjadi sumber petaka bagi suami dan keluarganya, dengan menyuruh suaminya korupsi misalnya ataupun memaksa anak gadisnya untuk menikah dengan pemuda kaya.
Tidak hanya disinetron, RCTI yang menyiarkan Joe Millionare misalnya, mengesankan secara nyata perempuan-perempuan ditampilkan sebagai sosok pengggoda dengan mengeksploitasi keindahan fisik dan begitu bergantung terhadap laki-laki, belum lagi jika melihat adegan-adegan cengeng yang mereka peragakan. Bukankah itu melenceng jauh dari cita-cita emansipasi perempuan itu snediri ?
Kesimpulan
Di atas adalah gambaran perempuan-perempuan yang on air atau yang ada dalam tayangan. Seberapa tahu kita, apa yang diperbuat perempuan-perempuan yang off air, yang ada dalam realitas. Di lingkungan broad cast televisi Indonesia, tidak sedikit perempuan yang menempati posisi kunci.
Yang berbelanja materi siaran hingga ke bursa festival film di Perancis, Hongkong ataupun di tempat lainnya umumnya adalah perempuan. Yang merancang dan menentukan program umumnya perempuan. Mereka adalah perempuan manajer.
Tapi coba apa yang kemudian mereka sosialisasikan kepada pemirsa yang umumnya perempuan ? ya, berbagai tayangan yang tidak menempatkan perempuan dalam posisi emansipatorik! Bukankah tayangan umumnya menampilkan kekuatan perempuan hanya pada sisi kecantikan belaka ? kalaupun membuat laki-laki kalah dan lari terbirit-birit itupun setelah perempuan menjadi arwah gentanyangan.
Si Manis Jembatan Ancol dan Impian Pengantin menjadi contoh paling konkrit. Kalaupun bukan dalam bentuk arwah atau hantu, perempuan perkasa dan mandiri adalah perempuan yang setengah manusia setengah siluman (pseudo-manusia) lihat saja Mak Lampir, Nyi Blorong, Siluman Ular dan sebagainya. Adakah para kreator sinema televisi Indonesia ingin menyatakan bahwa perempuan Indonesia baru bisa mandiri, kuat, tidak cengeng setelah ia menjadi arwah ataupun setelah belajar ilmu hitam?
Wallahu ’alam bishshawwab