Mereka Tak Bisa Bernafas
LiputanIslam.com –Tahun 2020 ini bisa menjadi awal keruntuhan imperium AS atas dunia. Keserakahan, keangkuhan, dan sistem ekonomi-sosial-politik yang dianut pemerintahan AS sudah sedemikian mencekik dunia, bahkan rakyatnya sendiri. Akibatnya, muncullah perlawanan demi perlawanan yang sepertinya sangat sulit untuk dibendung. Kasus teror terhadap Jenderal Qassem Soleimani, pandemi Covid-19, dan kasus kerusuhan rasial akibat tewasnya George Flyod adalah tiga rangkaian peristiwa di tahun 2020 ini yang begitu mengguncang AS.
Awalnya adalah kasus teror terhadap Jenderal Qassem yang telah menjatuhkan kredibilitas militer AS di dunia. Betapa tidak. Pangkalan militer terbesarnya di Irak (Ain Al-Assad) diserang oleh Garda Revolusi Iran, dan AS tidak memberikan reaksi militer; cuma berteriak-teriak mengancam. Padahal, selama ini, AS selalu dicitrakan sebagai penguasa militer dan keamanan dunia.
Selama ini, AS melakukan banyak sekali penindasan atas warga dunia dengan menggunakan kekuatan militer dan industri senjatanya. Irak, Afghanistan, Libya, Suriah, Yaman, dan Palestina adalah negara-negara yang hancur lebur akibat keganasan operasi militer di mana AS tampil sebagai komandannya. Jutaan orang tewas.
Negara-negara lainnya dipaksa menerima kehadiran pangkalan militer AS. Anggaran belanja negara mereka juga dikuras habis untuk pembelian senjata produk AS. Mereka ditakut-takuti. Jika tidak membeli senjata, keamanan nasional mereka akan terancam.
Industri militer AS betul-betul sangat mencekik warga dunia. Lalu, muncullah perlawanan dari Iran. Dan ternyata, kekuatan militer AS tak setangguh yang selama ini digembar-gemborkan. AS selama ini beraninya main keroyokan. Itupun yang dihadapinya adalah negara-negara yang sangat lemah. Negara-negara yang selama ini merasakan penderitaan akibat dicekik oleh AS sudah saatnya untuk bangkit melawan.
Belum usai kasus teror Jenderal Qassem, muncullah pandemi Corona yang meluluhantakkan sistem perekonomian dunia. AS bisa disebut sebagai negara yang paling terpukul oleh pandemi ini. Jumlah pengidap Covid-19 di AS adalah yang paling tinggi di dunia. Per tanggal 5 Juni 2020, jumlah pengidap Covid-19 di AS mencapai angka 1,9 juta. Ini berarti, pengidap Covid-19 di AS merupakan 30% dari pengidap virus ini di seluruh dunia.
Akibat pandemi ini, ekonomi AS kacau-balau. Transportasi lumpuh, pabrik-pabrik tutup, dan terjadi PHK besar-besaran. Padahal selama ini, ekonomi AS sedemikian gagah dan kuatnya. Jaringan ekonominya menyebar dan mencengkeram seluruh dunia. Cara kerja ekonomi AS menggabungkan profesionalitas dan eksploitasi SDA dan SDM negara-negara lain. Sudah lama ekonomi warga dunia tak bisa bernafas gara-gara kerakusan ekonomi AS. Pandemi ini adalah peluang untuk melawan kerakusan AS.
Terakhir, tanggal 25 Mei 2020 lalu, seorang polisi Minneapolis berkulit putih AS bernama Derek Chauvin menginjak dengan lutut di leher seorang warga kulit hitam bernama George Floyd selama setidaknya tujuh menit, sampai akhirnya Floyd tewas. Insiden itu direkam dengan ponsel oleh beberapa orang yang menyaksikan peristiwa itu, lalu akhirnya viral. Rekaman video tersebut menunjukkan Floyd berulang kali mengatakan: “I can’t breath” (aku tak bisa bernafas). Maka, meledaklah amarah warga AS, yang juga menjalar ke seluruh dunia. Slogan I can’t breath bergaung di mana-mana, menunjukkan kemarahan atas tindakan rasisme yang sangat biadab itu.
Pada dasarnya, warga dunia sudah lama dicekik oleh rasisme dan keangkuhan AS. Sudah lama warga dunia tak bisa bernafas. Mereka dicekik oleh kepentingan militer, ekonomi, dan rasisme AS. Sudah saatnya mereka melawan untuk mengakhiri hegemoni absurd AS atas dunia. (os/editorial/liputanislam)